Sistem Among Dan Pendidikan Nasional



"Sebagus-bagusnya, nilai tes yang tinggi di suatu sekolah atau distrik, bisa jadi tidak ada artinya. Seburuk-buruknya nilai tinggi sebenarnya berita buruk karena cara pengajaran yang digunakan untuk menghasilkan nilai tersebut." (Alfie Kohn, 2009: 157)
Sejatinya dunia pendidikan Indonesia harus mengacu kepada konstitusi. Dalam pembukaan UUD 1945 ditegaskan tujuan pendidikan Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan terbentuknya manusia cerdas, maka kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia Indonesia diharapkan meningkat. Namun ironisnya, pemerintah hanya memokuskan kecerdasan intelektual, namun rapuh dalam kecerdasan spiritual dan emosional.
Kita dapat melihat kebijakan pendidikan nasional saat ini, dimana sekolah hanya mengejar nilai. Guru diarahkan untuk mengajar sebagai proses transfer pengetahuan dan mengabaikan fungsi
mendidik sebagai proses pembinaan budi pekerti. Dampaknya aspek kognitif ditinggikan, sedangkan aspek lainnya. Selain itu, sistem pendidikan di sekolah yang mengejar nilai juga menghasilkan sistem pembelajaran yang anti kritik, cenderung sepihak dan berfokus mengejar ijazah. Maka mengutip
sejarawan Anhar Gonggong, sistem pendidikan berbasiskan nilai sukses menghasilkan manusia Indonesia terdidik, namun tidak tercerahkan sehingga bermunculan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Rapuhnya Kebijakan Pendidikan Nasional
Kebobrokan sistem pendidikan mengejar nilai sebenarnya bukan persoalan baru. Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara dalam pidato pengukuhan Doktor Honoris Causa di Universitas Gajah Mada, Ki Hajar mengingatkan “Tiap tahun, pelajar Indonesia terancam sistem penilaian yang intelektualistis. Anak Indonesia susah belajar dengan tenang, sebab dikejar ujian yang sangat keras dalam tuntutannya. Mereka belajar tidak untuk perkembangan kejiwaannya, melainkan belajar untuk mendapatkan nilai tinggi dan mengejar ijazah. Dalam soal ini, sebaiknya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencari cara agar dapat memberantas penyakit examen cultus dan diploma jacht itu (Ki Hajar, 2009)
Pernyataan Ki Hajar jelas tamparan keras untuk pemerintah Indonesia yang tetap mempertahankan sistem pendidikan mengejar nilai. Ini disebabkan sistem pendidikan mengejar nilai tak mampu membentuk manusia Indonesia yang nasionalis, cerdas spiritual, matang emosional dan berempati kepada orang lain. Sistem pendidikan untuk mengejar nilai dan ijazah juga menabrak empat insting dasar manusia yakni vivendi (bertahan hidup), sexualis (mempertahankan keturunan), dominandi (berkuasa) dan et posendi (keinginan memiliki).
Lebih jauh, sistem pendidikan mengejar nilai hanya sukses melahirkan manusia cerdas otak, tapi rapuh budi pekerti dan menderita kegersangan hati. Kerapuhan budi pekerti melahirkan manusia Indonesia yang cerdas namun berperilaku koruptif dan mengabaikan hak orang lain. Mereka tidak bicara bagaimana membangun sumber daya alam dan manusia Indonesia, melainkan bicara menjual kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan asing. Maka tidak mengherankan “manusia cerdas” ini mudah menggadaikan asset strategis bangsa.
Selain persoalan kerapuhan budi pekerti, sistem pendidikan nasional yang mengacu nilai juga melahirkan manusia Indonesia yang kering spritualitas. Kita dapat melihat bagaimana banyak manusia Indonesia yang cerdas menghuni parlemen, militer, birokrasi dan lembaga negara lainnya. Mereka unggul secara Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sehingga mampu mengembangkan berbagai konsep. Namun akibat terdidik tapi tidak tercerahkan, mereka terjebak berbagai kejahatan seperti pelanggaran HAM dan korupsi yang semakin menggurita.
Sistem Among dan Trilogi Pendidikan
Dalam mencegah bahaya berbasiskan nilai dan ijazah, pemerintah Indonesia perlu bercermin kepada sistem Among yang dipopulerkan Ki Hajar Dewantara. Dalam sistem Among, seorang guru diajarkan untuk mendidik dan mengajar. Proses mendidik ditandai melalui proses belajar yang menyenangkan. Sistem among menekankan pendidikan berbasis permainan dan praktik, bukan pendidikan yang mengutamakan hafalan dan angka sehingga menjemukan peserta didik. Sedangkan makna mendidik, guru dan peserta didik mengutamakan prinsip kekeluargaan, dimana peserta didik dapat menyampaikan pendapat dan sanggahan terhadap pendapat guru secara santun dan beretika.
            Sistem among mengacu kepada trilogi pendidikan yakni ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso dan tut wuri handayani. Pertama, ing ngarso sung tulodo bermakna, guru harus menjadi teladan peserta didik. Seorang guru dituntut mampu memberikan pelajaran moral (psikomotorik) sehingga mampu diteladani peserta didik. Dalam prakteknya, untuk membentuk peserta didik yang tidak perokok, guru harus mencontohkan untuk tidak merokok. Sehingga kebiasaan hidup sehat mampu terharmonisasikan antara guru dan peserta didik. Ini sesuai dengan konsep Davc (1970), dimana aspek psikomotorik pendidikan menekankan adanya jiwa peniruan dan sesuai dengan pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”
            Kedua, ing madya mangun karso yang bermakna di tengah membangun keinginan (aspek afektif). Dalam teknisnya, guru harus mampu menjadi pendamping, motivator dan membangun keakraban dengan peserta didik. Jika itu terjadi, diharapkan proses pembelajaran berjalan menyenangkan. Selain itu berbagai istilah buruk seperti guru killer, guru adalah dewa dan guru sebagai pusat segalanya mampu hilang. Peserta didik dan guru akhirnya sama-sama mampu menjadikan belajar sebagai ruang saling bertukar pikiran, membangun sikap kritis dalam menyikapi persoalan dan berusaha memecahkan masalah yang ada. Hal ini sesuai dengan Krathwol (1964) yang menyebutkan tujuan afektif pendidikan adalah internalisasi nilai yang tercermin dengan adanya partisipasi peserta didik dalam proses pembelajaran. Tujuan akhirnya adalah terbentuknya keteraturan nilai pribadi, sosial dan emosi jiwa.
            Ketiga, tut wuri handayani yang bermakna di belakang memberikan dorongan. Dalam memberikan dorongan (aspek kognitif), guru dituntut memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan bakatnya dan memberikan ruang ekspresi yang luas. Peserta didik diajak bereksperimen dalam memecahkan soal dalam mata pelajaran. Dengan memberikan dorongan, guru juga sesungguhnya sudah mengajak peserta didik untuk menjadikan belajar sebagai pengetahuan dan pemahaman saja, melainkan mampu menerapkan, menganalisis, mensitesis dan mengevaluasi hasil belajarnya. Jika mampu diwujudkan, maka peserta didik yang kritis-dialektis dan inovatif dapat diwujudkan.
Inggar Saputra
Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia dan Peneliti Institute For Sustainable Reform  (INSURE) / Ketua Umum KAMMI Komisariat UNJ G-9 ( 2008/2009)

0 komentar:

Twitter

Search

Like Box