Mendobrak Kebuntuan 15 Tahun Reformasi



         Reformasi adalah sebuah kata yang lima belas tahun yang lalu dan sampai hari ini masih diperjuangkan. Reformasi berasal dari kata “to reform” yang berarti membentuk kembali kepada kesejatian, tidak asal berubah, asal berbeda (umum), adanya perubahan yang radikal terhadap bidang social, politik, dan agama disuatu masyarakat2. Dan tepat hari ini tanggal 21 Mei 2013 merupakan puncak dari titik kulminasi dari kegelisahan masyarakat yang memaksa presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pemangku kekuasaan tertinggi digantikan oleh presiden B.J. Habibie sebagai titik pucak gerakan reformasi -dikira seperti itu setelah kejatuhan Soeharto- dengan mendongkel kepongahan rezim otoritarian kala itu.
      Reformasi mempunyai sebuah cita-cita luhur yang ingin membebaskan negeri ini dari cengkraman kuku-kuku kekuasaan rezim orde baru. Cita-cita reformasi yang menginginkan perubahan yang lebih
baik dalam penataan dan pengelolaan negara beserta system kronis yang harus diperbaiki, mengurus permasalahn social rakyat, serta kesejahteraan rakyat Indonesia akhirnya mulai menemukan seberkas harapan ketika presiden Sohearto dan rezimnya dihabisi oleh keinginan rakyat pada kala itu.
           Pemuda dan Mahasiswa yang merupakan satu kesatuan entitas yang bergerak dengan membuat kerangka wacana perubahan bangsa dengan meneriakkan agenda reformasi yang harus dieksekusi segera oleh pemerintah, namun dengan segenap kekuatan konsorsium yang membawa agenda perubahan, akhirnya harapan tersebut dapat menjadi sebuah realita.
FIR'AUNISME DALAM GEJOLAK MASA TRANSISI KEPEMIMPINAN

       Kekuasaan, hal inilah yang menyebabkan rakyat Indonesia selama tiga puluh dua tahun menderita dalam cengkeraman rezim otritarian yang tak berbelas kasihan. Dengan dalih "pembangunan" diktator kala itu berlagak seperti seorang pahlawan.
       Mungkin sikap itulah yang sering kita anggap sebagai penikmat atas kekuasaan. Kala itu presiden kita, Soeharto berusaha untuk menduduki kursi kekuasaan selama yang dia inginkan dan seperti yang kita ketahui, salah satu sifat akan ingin berkuasalah merupakan suatu hasrat terpendam dalam setiap diri manusia, salah satunya yaitu diktator orde baru.
       Theokrasi, dalam pengertiannya sebagai kekuasaan yang dasarnya adalah kedaulatan Tuhan, memberi kita pemahaman bahwa Tuhan adalah pucuk kekuasaan tertinggi. Bahkan, dalam kata “tuhan” itu identik dengan kekuasaan itu sendiri. “Menjadi tuhan” bermakna memiliki kuasa dan kekuasaan seperti tuhan; memerintah siapa dan apa saja tanpa ada kondisi yang menyertainya.
       Dalam literatur Islam, diceritakan dua sosok kekuasaan, pertama tipologi Raja Sulaiman dan kedua, karakter Fir’aun. Keduanya membincangkan tuhan dalam versinya masing-masing. Sulaiman mengakui Tuhan sebagai kekuasaan tertinggi. Namun Sulaiman juga mengharapkan agar dia menjadi penguasa yang tertinggi.
       Bila Sulaiman masih mengakui adanya kekuasaan yang jauh lebih kuasa darinya, maka Fir’aun adalah sisi sebaliknya, dia tidak mengakui dan bilapun ada maka dia akan “membunuhnya".Sulaiman menyatakan tunduk dan kepatuhannya, sementara Fir’aun menegasikannya dengan memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan. Dia tidak menganggap dirinya sebagai “wakil tuhan”, seperti yang sering dipahami dalam konsep theokrasi.
       Fir'aunisme dalam orde baru merupakan suatu rasa takut akan tumbangnya kekuasaan, sehingga dengan berbagai cara status quo akan suatu otoritas harus dipertahankan. Layaknya fir'aun, Soeharto membunuh segala potensi kebangkitan gerakan perubahan yang notabene digawangi oleh kaum muda dan kaum intelektual -yang pada masa itu diisi oleh kaum muda- yang merancang sebuah diskursus kebangkitan.
       Soeharto tidak ragu-ragu menggunakan otoritasnya untuk menghukum siapa saja yang berani menganggu teritori kekuasaannya. Sedikit saja ada sebuah gerak-gerik mencurigakan, maka "hadiah" dari Soeharto akan langsung hadir cepat atau lambat.
       Reformasi merupakan anak kandung yang dilahirkan dari sebuah kegelisahan akan kerasnya rezim berkuasa. Dan mereka yang "melahirkan" reformasi -mahasiswa dan rakyat- harus mempertanggung jawabkan apa yang telah dilahirkan.Pertanggung jawaban atas lahirnya reformasi harus dilaksanakan dengan menyelesaikan fase masa transisi kepemimpinan -yang sampai tahun ke lima belas reformasi- dengan mengambil menyelesaikan makna reformasi simbolis tanpa subtansi yang dirasa tidak sesua dengan semangta enam visi reformasi yang digaungkan kala itu. Enam visi reformasi yang dimulai dari adili soharto dan kroni-kroninya sampai hari ini masih belum selesai, amandemen UUD 1945 yang hari ini kerap disalah gunakan oleh oknum yang terinfeksi virus kroni orde baru harus segera ditertibkan secepatnya oleh orang maupu kelompok yang bertanggung jawab dengan meneriakkan reformasi.

AKTIVIS DAN MASYARAKAT, KOLABORASI TEPAT MENUNTASKAN MASA TRANSISI REFORMASI YANG BELUM TUNTAS

       Aktivis dan masyarakat merupakan satu kesatuan entitas gerak yang tak terpisahkan kala itu, mereka berjuang untuk sebuah kepastian di negeri ini. Maka lahirlah sebuah kata yang pada saat itu cocok untuk menghentikan kerasnya rezim berkuasa, yaitu "Reformasi".
      Realita hidup menyadarkan kita bahwa aktivis -mahasiswa ketika itu- bergerak sendiri dalam menanggung sebuah tanggung jawab reformasi dengan memasuki dunia politik. Mereka berjuang dari atas dengan dalih mereka adalah orang yang paling bertanggung jawab atas terjadinya hal ini. Namun sampai hari ini, mereka para aktivis belum bisa menyelesaikan dan mengakhiri sebuah masa transisi kepemimpinan. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam setiap jatuhnya sebuah tirani berkuasa, pasca tirani tersebut maka akan terjadi sebuah kevakuman gerak. Dan hal inilah yang terjadi pada kejadian pasca reformasi di Indonesia. Pertanyaannya bagaimana dalam kurun waktu lima belas tahun reformasi masoih belum dapat dituntaskan?
       Kita kembali kepada sebuah kelompok besar dalam bernegara yaitu masyarakat, mereka merupakan salah satu aktor yang paling bertanggung jawab atas lahirnya reformasi. Tanpa adanya dukungan mereka dikala itu, maka reformasi pada momentum kala itu tidak akan terwujud. Masyarakat memberikan support yang tidak ternilai pada saat itu sehingga segala bentuk gerakan dan suksesi demolisi rezim bisa terwujud. Jikalau kedua variabel diatas disatukan yang tadinya atau asalanya merupakan satu entitas tersebut bisa berkolaborasi, maka eksekusi akan transisi reformasi akan lebih cepat terwujud.
       Akhirnya yang menjadi faktor penghambat dalam eksekusi kali ini ialah keekslusifan beberapa oknum yang memanfaatkan memontum reformasi dan masa transisi kepemimpinan yaitu berusaha untuk menjadi penguasa baru dan di masyarakatnya sendiri, pasca reformasi mereka merasa bahwa perjuangan untuk tegaknya nilai-nilai kehidupan sudah selesai. Mereka seolah tak memiliki sebuah tanggung jawab dalam hal ini. Dan pada dasarnya mereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya, faktor keadaan yang akhirnya melenakan sebagian dari mereka. Dan akhirnya tugas kita bersama -aktivis dan masyarakat- untuk sama-sama menyadari bahwa perjuangan reformasi lima belas tahun yang lalu belum usai.

GENERASI HARAPAN PENDOBRAK KEBUNTUAN REFORMASI
   
      Sampailah kita pada pembahasan kepada subjek pembawa perubahan. Hari ini mereka adalah kaum muda, anak muda yang harusnya berpikir dan bertindak merdeka tanpa adanya rasa takut jika ada intervensi kepentingan yang merongrong.
      Pasca reformasi kebebasan di Indonesia tidak hanya sebatas tulisan yang ada di atas kertas. Kebebasan membuat suatu pilihan serta konsekuensi secara bersamaan. Banyak dari generasi muda terdahulu -oknum- melupakan sebuah konstruksi diskursus agenda perubahan. Dan ini akhirnya menular kepada generasi setelahnya yang akhirnya menyebabkan wabah kepentingan dan realitas yang menghuni kepala generasi muda hari ini.
      Berbicara demokrasi, maka berbicara keterbukaan dan kebebasan dalam menentukan sikap. Konsekuensi akan hal tersebut melahirkan sebuah kepentingan baik besifat tendensius individu maupun komunal. Generasi muda hari ini sebagai generasi harapan sudah harus menyiapkan sebuah kerangka konstruksi peradaban yang lebih komprehensif dalam menyelesaikan masa transisi reformasi, baik yang hari ini masih berjuang di gerakan mahasiswa maupun di parlemen, pusat-pusat kekuasaan, dan tentunya dengan support dari masyarakat yang mengamini sebuah eksekusi final dari reformasi. Generasi muda tidak perlu takut dengan intervensi kelompok yang mempunya tendensius akan kepentingannya. Dan independensi serta kemerdekaan bertidak dan berfikir harus disikapi secara matang dan dewasa. Generasi muda harus berani mengambil sebuah konsekuensi logis yang pasti akan mengorbankan salah satu yang mereka miliki, tapi demi Indonesia kenapa tidak? Generasi Muda harus mau menentukan pilihan, selesaikan masa transisi reformasi atau tidak sama sekali dengan konsekuensi munculnya tiran baru cepat atau lambat. Rebut kekuasaan, selesaikan lima belas tahun reformasi yang sudah terlalu lama dalam kegamangan gerakan konstruksi nilai-nilai serta norma. Dan yang bisa melakukan hal ini hanya generasi muda.
Salam lima belas tahun reformasi..!!!

Sumber : (literatur)
1. Gerakan perlawanan dari masjid kampus
2. Bergerak bersama rakyat
3. Menyiapkan momentum
4. Quantul leadership king sulaiman
5. Masyarakat vs Negara

Oleh : ADNAN KASOFI
Ketua Umum KAMMI Komisariat UNJ G-XIII

0 komentar:

Twitter

Search

Like Box