Think Again !
“Kebebasan itu aneh”
Bebas berekspresi...
Selama rok masih di
bawah lutut
Think Again.
Papan iklan besar menyeruak, ketika kita berhenti
di persimpangan Pusat Grosir Cilitan. Pemiliknya, sebuah operator besar seluler
Indonesia. Ada yang menarik, ketika kita mencermati materi iklannya.
“Kebebasan itu aneh,” lalu rangkaian kalimat selanjutnya mengundang pemikiran lebih dalam. Bebas
berekspresi...Selama rok masih di bawah lutut.
Seorang wanita berkaus putih tanpa lengan,
berambut terurai panjang, dengan mengenakan kain kuning sedang berjalan di atas
perairan setinggi lutut menjadi gambar konteks dan latar belakang papan iklan ini.
Kalimat-kalimat ini mau tidak mau
mengingatkan kita pada gerakan pemuja kebebasan individu, Liberalisme, dan
gerakan yang berkeras melepaskan diri dari tekanan patriarkisme, Feminisme.
Entah disengaja atau tidak, materi promosi ini bukannya menyebarluaskan produk
sang operator, namun paham liberalisme dan feminisme ini.
Kebebasan itu aneh. Jika kita ubah menjadi
pertanyaan,”apakah kebebasan itu aneh?”. Bebas, memiliki kemungkinan berlawanan dengan frase tidak bebas. Maksudnya, dalam kasus ini, bebas, sesuai dengan konteks kalimatnya, diidentiikkan dengan bebas berekspresi dalam rok yang di atas lutut. Tidak bebasnya, adalah rok yang harus dibawah lutut.
pertanyaan,”apakah kebebasan itu aneh?”. Bebas, memiliki kemungkinan berlawanan dengan frase tidak bebas. Maksudnya, dalam kasus ini, bebas, sesuai dengan konteks kalimatnya, diidentiikkan dengan bebas berekspresi dalam rok yang di atas lutut. Tidak bebasnya, adalah rok yang harus dibawah lutut.
Kebebasan berekspresi dalam iklan ini,
selanjutnya diarahkan kepada ekspresi dalam busana. Khususnya, yang menyangkut
feminisme. Kenapa? Sebab menggunakan mode wanita. Jadi, ini semacam sugesti tak
sadar kepada alam bawah sadar dengan gambar dan tulisan. Antara wacana, dengan
konteks lingkungannya.
Kalimat-kalimat diatas sebetulnya tidak
bermuatan apa-apa. Namun, yang jadi masalah, adalah frase dalam bahasa inggris
yang ditulis besar dan tebal, hingga mengesankan itulah wacana pokok dalam
rangkaian wacana iklan itu. “Think Again”.
Berpikirlah kembali. Apa yang harus
dipikirkan kembali? Tentu, jika kalimat diatas lengkap kita gubah dalam bentuk
paragraf, akan berbunyi “Pikirkanlah kembali, kebebasan yang aneh apabila
dibatasi dengan aturan rok wanita dibawah lutut,” atau dengan kata lain, “bukankah
aneh, jika kebebasan dibatasi dengan rok yang dibawah lutut?”
Untuk menjawabnya, kita memang harus
merenung, think again. Kita hidup di
alam demokrasi pancasila, yang oleh para pendiri bangsa disarikan dari beragam
falsafah kebudayaan (baca: moral) bangsa kita.
Kebudayaan-kebudayaan ini tentu saja bersifat
adat, tidak tertulis, namun dengan perkembangan zaman, pelan-pelan adat menjadi
nilai, lalu meriap menjadi norma. Norma, adalah aturan yang sifatnya mengikat
dan memiliki kekuatan sanksi. Norma-norma kebudayan inilah yang lalu diserap
menjadi hukum-hukum dalam undang-undang kita, setelah sebelumnya disarikan
dalam UUD 1945.
Syarwi (2009) mengatakan, demokrasi, adalah
masalah mayoritas-minoritas. Kaum terbanyak dan kaum yang sedikit. Gagasan ini
diperkuat Anis Matta, dalam Menikmati Demokrasi, bahwa kita semua, baik
mayoritas maupun minoritas, harus patuh kepada keputusan bersama, yang memang dalam
prakteknya memihak kepentingan mayoritas.
Bagaimana dalam kasus kebebasan berekpresi?
Mayoritas masyarakat Indonesia yang kental dengan nuansa religis, menganggap
bahwa ekspresi terbatasi (baca: terarahkan) oleh seperangkat aturan-aturan
moral. Masih beranggapan bahwa eksploitasi wanita melalui busana, adalah hal
yang sifatnya bertentangan dengan moral.
Pesan yang disampaikan oleh para pendiri
bangsa melalui produk undang-undang mereka, seperti menyiratkan bahwa bangsa
kita adalah bangsa yang menjaga kuat-kuat adatnya. Yang jadi masalah adalah,
manakala timbul perbenturan, bagaimana budaya melayu yang mengharuskan perempuan memakai pakaian yang lebih tertutup, dengan
kebudayaan Papua yang tidak mengharuskan, bahkan membebaskan wanita untuk
berbusana.
Kasus ini bisa kita ambil titik tengahnya.
Demokrasi yang dianut bangsa kita, dengan tegas adalah demokrasi yang menjaga
hak-hak kebudayaan asli Indonesia ditengah perbenturan kepentingan mayoritas
dan minoritas.
Apakah berarti, nilai daerah yang
mengharuskan wanita memakai pakaian tertutup merupakan simbol kepurbaan,
sementara nilai yang membebaskan wanita berekspresi dengan mengeksploitasi
anggota tubuhnya, adalah simbol kekinian?
Sama sekali tidak! Apabila kita menganggap
demikian, maka dengan sindiran keras, kita telah menganggap kebudayaan melayu
dan Jawa adalah kebudayaan yang purba, yang mencerminkan ketidakbebasan, patriarkial,
sementara kebudayaan yang betul-betul mengeksploitasi tubuh wanita datang untuk
menginikan nilai-nilai itu. Tegasnya, seorang pembaru yang “positif” datang
untuk mengganti orang tua yang “negatif”.
Feminisme dan liberalisme, tidak berarti nilai
yang harus diyakini masyarakat kita. Biarkan juga nilai-nilai itu berkembang.
Apabila ada upaya untuk menyebarluaskan gagasan bahwa rok diatas lutut adalah
bebas, dan sebaliknya, rok dibawah lutut adalah tidak bebas, dan nilai ini
dipaksakan kepada masyarakat, maka ini adalah penggugatan terhadap demokrasi
yang diagungkan oleh liberalisme dan feminisme itu sendiri!
Jelas, bahwa demokrasi menjamin kebebasan
setiap anasir masyarakat mengembangkan gagasannya, tanpa merusak gagasan anasir
yang lain. Apabila, anasir yang satu menganggap, bahwa nilai rok dibawah lutut
adalah negatif, sementara ada anasir yang menganggap itu nilai yang positif,
apakah harus saling memaksa dengan dalih berpikir ulang, atau dengan kata lain,
mengatakan bahwa kita harus mengkritisi, yang hal inipun diarahkan pada
penerimaan terhadap gagasan baru?
Kita memang harus menerima, bahwa nilai lama
tidak selamanya positif, namun tidak berarti nilai baru adalah sepenuhnya
positif juga. Kita harus tegas, mendisiplinkan gaya kita mengkritik, agar pada
akhirnya gagasan kita hanya berarti menegatifkan yang lama dan mempositifkan
yang baru, tetapi lebih jauh, mencari jalan tengah, jalan diantara yang lama
dan yang baru.
Alam demokrasi memang mendidik penganutnya
untuk bergerak dalam batas abu-abu, namun bukan dalam ketidak jelasan. Alam
abu-abu, adalah dimana hitam dan putih mendapat porsi yang sama, meski
kepentingan mayoritas menjadi arus utama gagasan dalam sistem “Keabu-abuan”
tersebut. Abu-abu, adalah pencampuran yang padu antara hitam dan putih, bukan
pencampuran yang tidak jelas.
Kembali pada persoalan rok diatas, sekali
lagi, tidak berarti nilai liberalisme dan feminisme juga menjadi negatif dengan
pemositifan nilai budaya lama. Tidak. Hanya, bagaimana caranya nila-nilai
tersebut berkembang tanpa mengganggu nilai-nilai yang terbukti mampu menjaga
stabilitas moral bangsa kita.
Bangsa yang menganut paham demokrasi liberal saja, tanpa mengindahkan nilai-nilai
lama, penegatifan total terhadap nilai lama, akan menjadi negara yang bebas
sebebas-bebasnya, negara yang membebaskan ketelanjangan menjadi konsumsi
publik, dimana bercampur dalam sup publik itu anak-anak, tua renta, wanita,
laki-laki, konservatif, fundamentalis, liberalis, komunis, religis, bahkan
atheis.
Perkaranya adalah bagaimana demokrasi
menjamin semua nilai itu hidup, tanpa mengganggu kehidupan nilai yang lainnya.
Kita harus akui, ada tahap dimana masyarakat, publik, dengan segala anasir
supnya, memiliki batas kesiapan dan ketidaksiapan. Kesiapan anasir yang lain
untuk menerima anasir baru,dan kesiapan anasir baru menerima adptasi dari
anasir lama. Ini sudah hukum alam, yang mesti berlaku.
Harus diakui, budaya reklame dan promosi
sekarang ini telah memasuki babak baru, yang melampaui sekedar berjualan lalu
menyebarkannya kepada publik, tetapi berkembang menjadi seni mengendalikan
opini masyarakat, seni mendidik masyarakat agar lebih dewasa menerima
perkembangan zaman, dan persentuhan kepentingan.
Semoga masyarakat akan semakin dewasa dengan
seringnya perbenturan kepentingan ini, karena nantinya masyarakat akan mencapai
stabilitas dengan keseimbangan yang terjadi paska perbenturan.
Oleh : Amar Ar-Risalah
*penulis adalah mahasiswa JBSI, aktif di jurusan sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia, anggota LLMJ, pengurus KAMMI KOMSAT UNJ, dan nongkrong di depan tembok jurusan di Gedung Q.
*penulis adalah mahasiswa JBSI, aktif di jurusan sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia, anggota LLMJ, pengurus KAMMI KOMSAT UNJ, dan nongkrong di depan tembok jurusan di Gedung Q.
Langganan:
Posting Komentar
(Atom)
0 komentar:
Posting Komentar