Marhaban Ya Sekularisme (!)



“Kini paham sekularisme bagaikan evolusi nilai sosial bagi umat beragama”  -Jimmy Julian-

 
 Kata secular, yang berasal dari Bahasa Latin saeculum, mengandung suatu makna yang ditandai dengan dua pengertian yaitu Waktu dan Tempat atau Ruang. makna yang lahir dari termin tersebut-lah yang kemudian merujuk pada nilai ruang dan waktu (spatio-temporal). Jadi secara tidak langsung, Saeculum dalam konteks pengertian waktu ialah ‘sekarang’ atau ‘masa kini’(1).
Secara historical, cikal bakal sekulerisme dimulai pada fase masuknya paham-paham Aristotelianisme pada konsep teologi Kristen . paham Aristoteles yang pada awalnya membawa nilai  metafisika dalam memahami ruang (Objek) pada akhirnya harus hilang tergerus pemikiran para teolog pembaharu kristen yang kian menihilkan nalar transenden dalam menafsirkan konsep alam. Dan justru mereka cenderung terjerumus pada kesalahan berfikir terhadap saintifikasi materialis
       Para teolog Kristen kian menemukan kerancuannya setelah mereka semakin keliru dalam menafsirkan konsep ketuhanan mereka. William Ockham, seorang filsuf teologi Kristen mendapati kegagalannya dalam menafsirkan konsepsi esensialisme Ibnu Sina (Avicenna). Menurut Ibnu Sina, setiap esensi (mahiyyah) dapat difahami tanpa harus mengetahui eksitensi-Nya. Oleh karna itu nilai
esensi akan berbeda dengan eksistensi. Satu-satunya Dzat yang nilai esensi dan eksistensinya berbanding sama hanyalah Tuhan (Al-Attas,1993).
       Akan tetapi kekeliruan Ockham semakin menjadi ketika ia memaknai apa yang dikatakan Ibnu Sina sebagai bentuk kepastian, segala hal yang dapat dipahami secara esensi pasti dapat dibuktikan secara eksistensi. Sehingga Ockham pun kian menambah keraguannya mengenai eksistensi Ketuhanan.

       Mempelajari kegagalan Filsuf dan teolog Kristen, akan semakin kentara ketika  seorang descartesian Von Harnack mengutuk keras hellenisme didalam tubuh teologi katolik. Hellenisme adalah paham Yunani kuno yang menjadikan keberadaan dewa-dewa dalam struktur alam. Menurutnya,hellenisme hanya menjadi dogma yang membatasi kekuatan filsafat dalam memahami stuktur alam secara saintifis. Keberadaan paham dewa-dewa yunani secara implisit merusak relevansi ajaran Kristen terhadap konsep ilmu pengetahuan.
      Beranjak dari proses sejarah yang panjang tersebutlah, pada akhirnya sekulerisme memasuki dunianya yang lebih luas. Sekulerisme masuk kedalam pemikiran-pemikiran barat yang mendikotomikan konsepsi teologi dangan worldview sains,politik,sosial dan budaya. Frederich Nietzhe Filsuf sekaligus seorang sastrawan mengatakan dengan keras bahwa “Tuhan telah mati dalam dunia Sains!”.
     Namun yang menarik dalam mengenal proses lahirnya sekulerisme, ialah dengan memahami makna proses sekulerisasi itu sendiri, termin sekulerisme sebenarnya mengalami penolakan dari beberapa aktivis sekulerisme. Bagi mereka, istilah sekulerisasi lebih diterima karena menggambarkan sebuah proses yang berkelanjutan secara konsisten dalam proses pembaharuan memasuki setiap sendi-sendi kehidupan manusia. Sedangkan sekulerisme dipahami bagaikan sebuah ideologi yang mengikat, bahkan dapat mereduksi makna sekuler itu sendri karena tidak berupa proses yang termodernisasikan.
    Nilai-nilai keagamaan telah lama hilang dialam kesadaran kaum sekuler yang menganggap campurtangan metafisis adalah bagian dari sejarah hidup seorang ‘anak kecil’. Dan sejalan dengan proses pendewasaannya, mereka menganggap nilai metafisika tersebut harus segera dihilangkan dari kungkungan kesadaran manusia zaman kini yang telah mendapati masa ‘kedewasaannya’.
     Namun,akan tidak heran jika peradaban Kristen Barat yang secara terus menerus mencari relevansi teologinya, kini telah mengalami kehilangan besar-besaran dalam otoritas hukum kehidupan penganut Kristen sendiri



Sekulerisme Dalam Kehidupan.
            Berpindahnya pusat otoritas Kristen dari Yarusalem ke Roma merupakan sikap yang diambil secara simbolik atas hegemoni barat terhadap agama Kristen, dan seperti yang telah dibahas diatas, sekulerisme semakin hidup ditengah-tengah nafas secara keseluruhan kehidupan dunia barat dan Kristen.
            Tidak berlebihan rasanya kalau dikatakan bahwa Islam adalah agama yang satu-satunya memiliki otoritas (authority) dalam mengatur seluruh aspek kehidupan Umatnya. Al-ahkam (Hukum) yang kemudian mengatur seluruh stabilitas kehidupan mulai dari keperluan pribadi hingga aspek mayoritas akan langsung ditemui didalam pedoman yang terdapat pada Kitab suci Al-Qur’an . Islam pun mengatur tatacara sistemik dalam mempelajari pengetahuan sains secara metafisis. Karena didalam Kitab Al-Qur’an yang menjadi pedoman umat muslim tersebutlah ditemukan kekayaan pengetahuan alam tabi’i.
            Sedangkan agama Kristen kian ‘terlemahkan’ oleh dampak sekulerisasi yang menggrogoti aturan kehidupannya, terlebih lagi agama kecil yang terbatas oleh teritorial dan genealogi keturunan seperti Yahudi. Sudah dapat dipastikan tidak akan memiliki semangat visi aturan yang universal seperti halnya yang terdapat di agama Risalah seperti Islam.
            Sekulerisasi kini bagaikan imperialis yang melakukan penjajahan terhadap struktur berfikir masyarakat sosial dalam suatu bangsa.Setelah masuk kedalam keyakinan teologis, kini sekulerisme seakan mendapati momennya untuk secara langsung memasuki pola-pola kehidupan manusia secara aplikatif. Bahkan dibangsa Timur yang memiliki sosio-kultur religius, tak mampu mengelak dari serangan sekulerisme yang dibawa secara bersamaan dengan arus besar Globalisasi.
            Sekulerisme hidup ditengah-tengah sistem negara,pendidikan,politik dan budaya bangsa timur seperti Indonesia,  bangsa multikulural ini harus dihantam melalui wacana pluralism and liberalism Living. Sehingga karakter Islam yang belum sepenuhnya kokoh tersebut harus mengalami benturan pada ranah gaya hidup masyarakatnya yang terdeviasi dari harkat dan mertabat sebenarnya.


            Melawan Dengan Kesadaran.
            “Bangsa-bangsa Eropa telah bekerja sungguh-sungguh dalam upaya menggemakan gelombang kehidupan materialis beserta segenap aspek-aspeknya yang merusak dan virus-virusnya yang mematikan serta menghalanginya dari unsur kebaikan yang bermanfaat. Mereka telah menetapkan strategi perang sosial ini dengan sangat rapi dibantu oleh pakar politik dan kekuatan militer mereka, sehingga tercapailah apa yang mereka kehendaki” (Risalah Bainal Amsi wal Yaum) –Hasan Al-Banna- (2)
            Dari delapan point yang dinyatakan oleh Hasan Al-Banna mengenai proses masuknya Konsep pemikiran barat terhadap bangsa timur ialah melalui Ekonomi,Hukum,gaya hidup, dan pendidikan. Bukan rahasia lagi bahwa seluruh aspek tersebut kini telah dihinggapi budaya dan pemikiran barat . pendidikan contohnya, Indonesia sebagai bangsa penganut agama Islam terbesar didunia, bagaikan “punuk merindukan bulan” dalam meralisasikan pendidikan Formal yang berlandaskan karakter agama  mayoritasmya.
            Ketika berbicara pemuda, kini Indonesia telah banyak kehilangan potensi pemuda melalui westernisasi lifestyle yang berhasil merusak logika kehidupan yang bermoral. Islam sebagai agama Transenden mulai kehilangan fungsinya bagi pemuda yang telah tercemar struktur berfikir oleh sekulerisme.

            “Bangsa yang terjajah selalu mengikuti mode penjajah. Baik dalam slogan-slogan,gaya busana,agama dan keyakinan, serta berbagai aktifitas dan prilaku mereka“–Ibnu Khaldun- (3)
            Invasi pemikiran sekuler kian begitu terasa dialam fikir bangsa Timur.nilai-nilai etik tradisional harus mengalah dengan derasnya gempuran global yang strukturalis. Ibnu Khaldun menjelaskan fenomena tersebut terjadi akibat proses strukturalis yang menguasai bangsa tersebut. –meminjam istilah Hasan Al-Banna-  “Mereka telah menetapkan strategi perang sosial ini dengan sangat rapi dibantu oleh pakar politik dan kekuatan militer mereka”
            Bukan rahasia lagi apabila bangsa ini telah terjajah kedaulatan Ekonomi dan Politiknya, sehingga sangat memungkinkan untuk ditekan scara strukuralis oleh bangsa adidaya yang telah menjadi sandaran persekutuan. Dan tdak perlu heran jika proses asimilasi kultur mulai terlihat dikehidupan masyarakatnya.
            Maka sudah seharusnya pemuda muslimlah yang berperan dalam mengembalikan segala aspek kehidupan tersebut kepada kultur ke-timurannya yang sarat dengan nilai metafisisnya. Tanpa ikut terperangkap pada kesalahfaaman ‘worldview’ yang terjebak pada epistemologi sekuler barat.

Ditulis oleh Jimmy Julian (Kadept. Kebijakan Publik KAMMI UNJ & Kontributor di PenaHijau.com)

Catatan kaki:
(1). Syed Muhammad Naquib Al-Attas (Islam dan Sekulerisme,1993)
(2). Prof. DR, Abdul Hamid Al-Ghazali (Pilar-Pilar Kebangkitan Umat, Al-Itishom)
(3) Ibnu Khaldun (Mukaddimah, Pustaka Al-Kautsar)

0 komentar:

Twitter

Search

Like Box