Reposisi Pesantren Dalam Konstruksi Kependidikan Islam
Secara historis pesantren adalah
model lembaga pendidikan islam yang pertama mendukung kelangsungan sistem
pendidikan nasional. Diawali dari keinginan untuk belajar agama, anak-anak
petani yang yang tidak mampu untuk sekolah, belajar agama dimalam hari secara
non formal karena di siang hari mereka membantu orang tua mereka bekerja
disawah. Atau ada juga yang mengatakan bahwa sistem pendidikan pesantren adalah
hasil dari naturalisasi pendidikan hindu budha yang dimodifikasi hingga
terbentuk sistem yang hingga hari ini kita kenal dengan pendidikan pesantren.
Seperti yang dikatakan A. Malik fajar (1998:21) pesantren merupakan lembaga pendidikan islam yang memilki watak indigenous (pribumi) yang ada sejak kekuasaan hindu-budha dan menemukan
Genealogis ideologi dan kontribusi pesantren
Genealogis ideologi pesantren sebenarnya bisa dirujuk kepada sejarah tumbuh dan berkembangnya pesantren yang cukup panjang. Pesantren sebagai salah satu wujud entitas budaya. Awalnya pesantren tumbuh sebagai simbol perlawanan terhadap agama dan kepercayaan politeistik, khurafat, dan takhayul, dengan mebawa misi tauhid-kepercayaan kepada satu tuhan-. Kehadiran pesantren ditanah air selalu diawali dengan perang nilai antara ‘nilai putih’ yang dibawa pesantren dan ‘nilai hitam’ yang mentradisi di masyarakat.(1)
Jika kita tilik lagi tidak sedikit Kontribusi pesantren di dalam membangun bangsa indonesia, sejak jaman penjajahan pesantren mengambil peran perlawanan dengan cara yang menarik. Uzlah adalah cara yang ditempuh pesantren untuk melawan penjajah. Mengasingkan diri dan cenderung tertutup adalah sifat dasar dari pesantren pada periode perlawanan. Karena uzlahnya maka pemerintah kolonial menganggap pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang jelek, dan tidak jelas arah dan tujuanya. Karena anggapan miris pemerintah kolonial inilah pesantren lebih menekankan diri pada pembelajaran fiqih-sufistik. Namun diambilnya konstrenstasi ini bukan tanpa akibat. Hal ini ini menyebabkan pesantren memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Kelebihanya adalah pesantren mampu membuat benteng pertahanan secara mental spiritual sementara disisi lain kerugiannya menyebabkan pesantren seolah lepas dari kehidupan nyata masyarakat.
Pada masa pergerakan dan persiapan kemerdekaan pesantren berperan sebagai pusat perjuangan geriliyawan. Awal pembentukan tentara nasional indonesia,khususnya angkatan darat banyak yang berasal dari santri dan sedikitnya diwarnai oleh kultur santri.(2) Jadi ini menunjukan bahwa pesantren mampu menjadi rumah yang nyaman untuk para pejuang ketika itu.
Namun sejak tahun 1970an pesantren mengakar dan mereposisikan diri kearah sistem pendidikan yang berorientasi masa depan tanpa menghilangkan tradisi baik sebelumnya. Santri-satri mulai diajarkan keterampilan menjahit, pertukangan, perbengkelan dan sebagainya. Sehingga memiliki bekal wawasan keduniaan sesuai profesi yang diinginkan.
Panca jiwa pesantren
Eksistensi pesantren kokoh diatas nilai-nilai yang secara kultur diakui bersama, dan nilai-nilai ini dikenal dengan panca jiwa pesantren yang memuat nilai:
Pertama, jiwa keikhlasan. Yaitu jiwa dimana tidak ada ambisi dan dorongan terhadap hal hal keduniawian karena percaya bahwa setiap amal baik yang dilakukan dengan ikhlas akan diberikan balasan oleh Allah SWT.
Kedua, jiwa kesederhanaan. Arti kesederhanaan disini bukan nilai-nilai pasif, kemelaratan, kemiskinan dan kemalasan tetapi justru mengandung unsur kekuatan dan kebersahajaan dari sebuah nilai kesederhanaan.
Ketiga, jiwa kemandirian. Berkaitan dengan kesanggupan pesantren untuk merdeka secara financial dan orientasi pendidikan tanpa bergantung kepada siapapun. Kemandiriian tidak hanya mencakup kemampuan untuk menyelesaikan masalah internal pesantren.
Keempat, jiwa kebebasan. Artinya pesantren sebagai sebuah lembaga yang kokoh yang dapat memilih jalan hidupnya sendiri dan mandiri yang tidak bisa didikte oleh kekuatan luar dalam membangun orientasi sistem kependidikanya.
Kelima, jiwa kesatuan (ukhuwah islamiyah). Jiwa yang dimanifestasikan pada kehidupan keseharian masyarakat pesantren. Nilai gotong royong, saling membantu, toleransi. Pola hidup berjamaah yang dipahami dan dijalankan bersama.
Paradigma pendidikan pesantren: sebuah permulaan
Dewasa ini pandangan masyarakat terhadap pendidikan islam yang mengakar seperti pesantren, mengalami dua diferensiasi yang pertama adalah pandangan yang menyangsikan eksistensi pendidikan pesantren dan yang kedua pandangan masyarakat yang menaruh perhatian dan harapan bahwa pendidikan pesantren masih mampu menjadi model alternatif pendidikan.
Kemudian muncul pertanyaan bagaimana pesantren begitu kokohnya membangun jati diri dan tradisinya. Atau bagaimana mereposisi pesantren dalam konteks pendidikan islam kontemporer? Hingga eksistensinya mampu dirasakan sampai hari ini.
Hingga hari ini masih ada pesantren yang berdiri diatas ideologi fiqih-sufistik sebagai paradigma kependidikanya yang menekankan kepada aspek teosentris dan memilih budaya asketis. Asketis sepadan dengan istilah zuhud yang berasal dari khazanah sufisme atau tasawuf. Inti tasawuf adalah sikap hidup asketis,yaitu meninggalkan kelezatan keduniaan (al imtimta’ min ladzaiz al dunya) dan menjauhi materi.(3) Hal ini disimbolkan dengan perilaku hidup sederhana atau yang biasa disebut dengan tasawuf. Mereka mengkaji ilmu yang berkenan dengan mujahadah, meluruskan ahlak dan mensucikan jiwa lalu meneliti lebih jauh tentang noda-noda jiwa dan mengenal tipudayanya .(4) Mereka menekankan kepada penyucian jiwa, makan ala kadarnya dan berpakaian lusuh. Orientasi pendidikan yang demikian ini lebih banyak kelemahanya seperti kekakuan dalam berfikir dan memandang sesuatu diluar yang dipahami sebelumnya.
Dari segi orientasi keilmuan pesantren masih menitik beratkan pada kajian ilmu ilmu terapan seperti fiqih, tasawuf, dan ilmu alat (nahwu dan sharaf). Sedangkan ilmu yang menyangkut pengembangan wawasan seperti ilmu logika, filsafat, sejarah dan bahasa, perbandingan agama sangat kurangdan terbatas. Hal ini membawa dampak lemahnya kreativitas dalam penerapan hukum hukum fiqih saat dihadapkan pada realitas sosial dan keilmuan kontemporer.
Proses pembelajaran yang dikenal dengan sorogan, wetonan dan khataman cenderung berlangsung satu jalur (monolog). Sang kiai membacakan dan santri mendengarkan penuh perhatian sambil mencatat. Dialog antara kiai dan santri cenderung mati dan tidak berjalan. Terlampau sedikit kesempatan untuk diskusi, bertukar pendapat dan bertukar pikiran. Dari segi kurikulum dan materi pembelajaran juga belum dibakukan. Masing masing pesantren mempunyai pilihanya sendiri. Pembelajaran yang biasa menggunakan kitab kuning(5) sudah tertera dan tidak bisa ditambah sejak terbentuknya ilmu ilmu tersebut. Materi yang diajarkan itu itu saja dan menafikan perkembangan literatur keislaman yang baru. Penjagaan yang begitu kaku terhadap formalitas tekstualnya menyebabkan kegagalan dalam menangkap ide dalam kitab kuning.
Reposisi pendidikan pesantren
Oleh karena itu paradigma pendidikan pesantren semestinya diarahkan pada pemahaman bahwa pendidikan agama bukan hanya upaya untuk mewariskan paham atau pola keagamaan tertentu kepada peserta didik, tapi agar anak didik memperoleh kemampuan metodologis untuk memahami pesan dasar yang disampaikan agama.
Reposisi pesantren harus dimulai dengan merumuskan kembali kurikulumnya secara integratif dan komprehensif. Bahan pengajaran agama dapat diintegrasikan dengan penumbuhan kepedulian sosial sehingga peserta didik terlatih untuk mempresepsikan realitas berdasarkan pemahaman teologi dan perspektif normatif yang sudah dipahami. Sehingga santri tidak hanya fasih dalam hal pemahaman tapi juga mampu membaca realitas sosial yang terjadi dan mampu untuk berdaya guna bagi masyarakat.
Kurikulum pendidikan pesantren juga harus mampu untuk mengembangkan penguasaan ilmu dan wawasan global yang mampu digunakan untuk menghadapi globalisasi yang senantiasa menyapa diluar. Usaha untuk menambah keterampilan mutlak dilakukan. Sistem pendidikan dibuat sedemikian rupa untuk lebih akomodatif terhadap perubahan. Anak didik diharapkan mampu untuk memiliki kualifikasi keilmuan secara profesional.
Metode pembelajaran yang menekankan pada doktrinal semata hendaknya ditransformasikan dan diperkaya dengan berbagai metode instruksional moderen yang lebih eksploratif dan implementatif bagi pembukaan cakrawala pemikiran santri.(6) Sehingga akhirnya anak didik(santri) mampu memiliki kemampuan dan kepekaan terhadap tiga aspek sekaligus : intelektual, moral dan spiritual. Jika mampu mengakomodasi ketiga aspek ini untuk para santrinya maka pesantren akan mampu menjadi lembaga pendidikan islam yang melakukan transfer ilmu, lembaga yang melakukan kontrol sosial, rekayasa sosial dan pengembangan masyarakat yang akan terus melekat sepanjang zaman dan kokoh membangun jati diri serta tradisi pesantren sebagai salah satu peran dalam sistem pendidikan.
catatan kaki :
(1) Dr. Imam Tholkhah-Ahmad Barizi
M.A, membuka jendela pendidikan,(Jakarta: raja grafindo persada, 2004),
hal 49
(2) Ibid, hal. 53
(3) Tim kreatif LKM UNJ, restorasi
pendidikan indonesia, (jogjakarta : arruz media, 2011),hal. 92
(4) Dr. Majid Irsan Al Kilani, misteri
masa kelam islam dan kemenangan perang salib,(jakarta: kalam aulia
mediatama, 2007),hal. 101
(5) Kitab kuning merupakan kitab
keagamaan yang muncul sejak abad ke 26 masehi yang dijadikan referensi utama di
lembaga pendidikan islam formal, seperti pesantren dan madrasah. Seperti tafsir
ibn katsir, shahih bukhari, shahih muslim, dan sebagainya.
(6) Dr.
Imam Tholkhah-Ahmad Barizi M.A, membuka jendela pendidikan,(Jakarta:
raja grafindo persada, 2004), hal 66
*penulis adalah mahasiswa teknik elektro UNJ angkatan 2010, penggiat KAMMI komisariat UNJ 2013. Dan salah satu kontributor di pena hijau KAMMI UNJ. Dapat ditemui di twitterland dengan nama @ekoharyan
*penulis adalah mahasiswa teknik elektro UNJ angkatan 2010, penggiat KAMMI komisariat UNJ 2013. Dan salah satu kontributor di pena hijau KAMMI UNJ. Dapat ditemui di twitterland dengan nama @ekoharyan
Langganan:
Posting Komentar
(Atom)
semoga pesantren tetap menjadi sebuah alternatif pendidikan yang senantiasa meeninggikan tradisi agunf ahlakul karimah ditengah kapitalisme yang menjerat pendidikan berlabel islam
BalasHapus