Feminisme Malam
Malam tadi, seorang sahabat membuat janji dengan komplotan kami. Ia
pertama kali kami temui di sebuah kafe diskusi sastra kiri yang
digawangi Bengkel Teater, kepunyaan WS. Rendra. Warung Apresiasi, di
daerah gelanggang remaja Bulungan ketika kami melakukan pertunjukan
disana. Kekirian mereka semakin menciri ketika aplikasi karya-karya
Rendra mereka jadikan shuhuf-shuhuf panutan mereka.
Kafe ini boleh diadopsi kafe roti mantan mas‟ul kita: kafe berkonsep pergerakan dan ideologi, menyediakan diri khusus untuk mengembangkan konsep-konsep kiri setiap hari rabu, dan diberi nama acara Forum Sastra Rebo-an.
Cara ini terbukti efektif, dimana orang-orang besar sastra sering datang. Sebut saja pengarang sufistik Dharmadi, yang 26 Desember kemarin meluncurkan
bukunya, orang-orang Bengkel Teater, dan mungkin intel-intel dari BIN dan AD.
Ya iyalah, SBY itu Cuma lebih malu-malu saja dari Soeharto dalam hal intelijen. Aslinya sih, sama saja.
Asal punya selidik, saya tertarik menyelami lebih jauh. Karena diantara mereka, neo-liberalis dan feminis-marxis mulai menyelinap. Entah kenapa, salah seorang diantara mereka bertukar nomor dengan kami, yang akhirnya berbuntut pertemuan malam tadi.
Malam yang menarik untuk dipijat-pijat isinya, setelah lama hanya menyentuh karya-karya sangat kanan di lemari buku kita.
“Aku dari Lembaga Mahardika” jawabnya ketika pertanyaan dibuka.
“Lembaga apa itu?” saya mengingat-ingat sesuatu. “Pegiat Feminis... Pamanukan. Saya mantan ketuanya...”
Dia lulus tahun 2010. Penampilannya cukup femine, dengan rambut seperti Eko Priharyanto, dan kaus kuning lengan pendek.
Oke, cukup alasan untuk mengangkat ini ke grup PK KAMMI UNJ, batin saya.
Tetapi, saya harus mengenalkan diri sebagai apa padanya? Nanti saja. kita lanjutkan dulu kisah malam tadi.
“Mahardika itu bergerak di bidang feminisme. Kami sering mengkaji hal-hal patriarkis yang menetang asas-asas feminisme.” Katanya.
“Bicara feminisme dan sastra,” Sahut seorang teman saya yang mengaku Atheis, “Feminisme itu kan gejala-gejala penyetaraan tugas-tugas sosial perempuan dengan laki-laki, penyetaraan gender dalam masyarakat. Nah, di karya sastra, utamanya fiksi, kami baru saja nyemplung di masalah-masalah feminisme”.
Saya diam. Saya ingin menemukan lebih banyak informasi daripada turut bicara. Di UNJ, JBSI, ada seorang dosen yang menjadi tokoh feminisme Indonesia. Ibu Novi namanya. Boleh sekali-kali kita ajak diskusi.
“Ngomong-ngomong, akhir-akhir ini kan sering timbul kasus perkosaan di angkot, di mana-mana. Nah, itulah yang kami sering kaji. Masyarakat kita, saya akui masyarakat yang cukup patriarkis. Mereka membuat laki-laki posesif terhadap wanita. Akhirnya, wanita menjadi determin, terbelenggu dalam keterpaksaannya menerima tugas sosial” Sahabat ini menguraikan pendiriannya.
“Pemerintah membakukan adat patriarkis ini dalam bentuk perda, lihat saja, perempuan dilarang mengangkang ketika naik motor..” Hm. Lhokseumawe.
“Saya akui. Memang, masyarakat indonesia, ya, disekitar kita kan adanya jawa dan sunda. Mereka memang sangat memegang mitos dan adat yang terbukti jelas sangat patriarkis. Akhirnya, karena ini terus diturunkan kepada generasi selanjutnya, dan generasi –generasi ini menyaksikan fenomena patriarki sebagai kewajaran, akhirnya mereka menjadi agen-agen patriarki ini kepada generasi selanjutnya” Saya angkat bicara.
“Iya, memang. Keluarga itu inti dari pewarisan nilai dan norma. Tantangan feminisme kedepan, memang berbeda dengan negara lain. Indonesia mengalami masalah kultural, yang diperkuat dengan sistem kerajaan. Kenapa kerajaan? Ya, tanpa disadari, ciri kerajaan di Indonesia belum hilang, bapakisme. Nah, bapakisme inilah juga yang turut memperkeruh tantangan buat feminisme. Ada mitos-mitos bahwa perempuan tak bisa menjadi pemimpin (jangan bahas ajaran islam dulu ya, ini masih Jawa) dan hanya menangani urusan domestik keluarga, rumah tangga dan dapur” dia dengan berapi-api menguraikan kembali.
“Ya, itulah Indonesia. Pasalnya, kadang pegiat feminisme menyamakan problem yang terjadi di negara ini dengan negara lain yang terang memiliki masalah sosial yang berbeda. Feminis yang muncul belakangan tidak menyadari ini. akhirnya, mereka tidak berbeda dengan gerakan-gerakan kiri lainnya. Kita ambil contoh, perancis. Masalah mereka bukan pada perlindungan hak-hak perempuan, tetapi pengembalian hak-hak yang berlebihan. Akhirnya masyarakat kehilangan sekat antara laki-laki dan perempuan, dan perempuan disana merasakan sendiri kebebasan malah mengeksploitasi mereka. Itulah yang menjadi tugas-tugas feminisme disana. Sementara, di Indonesia, tugas-tugas feminisme berbeda” Saya menimpali.
“Tugas feminisme disini, di negara ini, membebaskan paradigma perempuan mengenai hak mereka. Hak itu sudah pasti tidak sama, namun imbang dengan laki-laki. Jika ada kasus perkosaan misalnya, kita melihat perempuan sebagai korban, dan lelaki sebagai pelaku. Tetapi, sudut pandang yang seharusnya tidaklah demikian” hm, Ini kata-kata saya yang paling berat sejak beberapa minggu lalu.
“Tetapi, anehnya, negara kita seperti mengalami kemunduran pemikiran jika bicara pemimpin tidak boleh kaum wanita. Jika alasannya bertentangan dengan adat, kita kenal Tri Bhuwana Tunggadewi, ratu Majapahit. Juga ada Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia, yang islam. Meski bukan ratu”
“Ada juga tuh ratu dari kerajaan Pasai, tapi lupa namanya...” Teman saya yang lain menanggapi.
“betul. Nah, gerakan Mahardika ini menyadari itu, maka kami membuat sekolah feminisme yang berpusat di Pamanukan. Ada kurikulumnya, yang dirincikan. Awalnya, disusun pengenalan awal teori-teori feminisme”
“Kurikulum?” Saya mulai mencium sesuatu yang besar. Amat besar.
“Ya, ada tingkat-tingkatnya. Tingkat awal, untuk mengubah paradigma. Tingkat kedua, untuk mengenalkan teori dan nilai. Ketiga, untuk mulai melakukan pergerakan. Itu susunan kurikulumnya. Nah, sasarannya ya jelas, mahasiswa (ups, keceplosan...) dan buruh. Serikat buruh ini yang mulai terbuka matanya mengenai isu-isu. Kebanyakan kalau dari mahasiswa, ya mahasiswa yang suka diskusi, wanita. Mereka tertarik ketika menemukan banyak kesamaan antara kasus yang mereka alami dengan apa yang disoroti oleh feminisme”
“Nah lho, yang buruh bagaimana?” saya memburu penjelasannya lebih banyak.
“Yang buruh, itu lebih sederhana. Maklum, mereka kan tidak pernah baca buku. Nah, entah kenapa mereka lebih aktif bergerak dibanding mahasiswa. Mungkin karena kasus yang mereka alami juga lebih berat. Contohnya, ada karyawati, yang promosi menjadi manager, namun ternyata harus mau diajak tidur dulu oleh atasannya, demi naik jabatan ini. nah, ini kan kasus yang amat genting. Contoh lain, pelecehan yang dilakukan sesama karyawan, terutama pada shift malam yang dijalankan beberapa pabrik. Ini nyata terjadi, dan kebanyakan perempuan tak mendapatkan hak advokasi dan pengetahuan yang benar tentang hak mereka. Mereka malah malu untuk melapor, kadung menganggap dirinya hina” terangnya. Luar biasa, gerakan ini mulai sangat tajam. Kalah kita.
Nanti, boleh juga kita buat kurikulum kanan, misalnya kurikulum pendidikan islam dari Quthb kita analisa dan dijadikan kurikulum KAMMI, dan sasarannya ke luar anggota KAMMI.
“Bagaimana peta ideologi kampus ini, mas?” Sebetulnya sih pertanyaan dia tak begini redaksinya, tetapi lebih keren kalau ditulis begini.
“Saya pribadi sempat memetakan, ada 3 kekuatan besar yang mendominasi. Marxis, islamis, dan seniman-seniman sosialis (bilang aja anti kemapanan, alias ga modal). Yang marxis, ada Didaktika. Lembaga pers kampus, yang bisa dianggap profesional. Saya dekat dengan mereka. Nah, hubungan mereka dengan feminisme, mereka seringkali mengangkat topik diskusi marxisme dan islam, tentu, yang diserang jelas, islam dan penindasan terhadap hak-hak perempuan, seperti, beberapa minggu lalu ada wacana jilbab itu bukan kewajiban, tetapi pilihan”
“Yang parah, mereka terakhir bincang masalah pelegalan ganja....”
“Yang islam, ada tiga juga yang besar. HMI, HTI, dan Hasymi. Yang HMI, sebetulnya kurang berpengaruh dalam hal pemikiran feminisme. Tetapi jumlah mereka dan besarnya
nama mereka, membuat ia menjadi semacam ikon islam kampus. Ada juga LDK (saya juga bingung, kenapa jadi cuma tiga yang saya sebutkan, harusnya kan empat dengan LDK). Nah, di BEM JBSI dan JBSA, LDK ini pernah menjadi isu besar ketika rapat BEMJ harus memakai hijab. Penolakan muncul dari mana-mana...”
“Ya iyalah! Apa korelasinya antara rapat dengan hijab, dan terselesaikannya agenda? Pengalaman membuktikan, rapat tak pernah selesai-selesai. Yang laki-laki ketawa ketiwi, yang perempuan nggak tahu ngapain” Nah lho, teman saya yang atheis tadi menyela. Ia geram dengan LDK, karena pada satu waktu, ia pernah bergesekan.
Ketika PKMJ, dia menjadi panitia pengisi dengan terpaksa, karena panitia utama pada seksi berhalangan. Karena dia seorang trainer outbound, dia mengisi permainan ice breaker. Salah satunya, melibatkan interaksi gender dengan masuk ke kolong kaki. Di tengah permainan, tiba-tiba seorang senior, yang dianggap ikon LDK JBSI, menghentikan proses dan memprotes.
Penonton kecewa.
Dia juga, maka dari itu, dia menjadi anti LDK. Dia memang seorang yang kritis.
“Nah! (Sahabat saya ini seperti meloncatkan bohlam lima watt dari kepalanya) itu isu utamanya. Feminis religis. Hak-hak wanita seringkali hilang atas dasar penegakan agama. Oh ya, bagaimana dengan HTI dan Hasymi? Apa bedanya?”
“Saya melanjutkan, “HTI itu massanya memang sedikit, tetapi pemikirannya keras, memang tidak fokus feminisme juga, tetapi dia keras terhadap wanita” saya sengaja tak memberikan klu, “keras” itu yang bagaimana. Kalimat jebakan.
“Iya itu, aku geram. Lihat-lihatan saja dibilang melanggar agama. Memangnya agama apa? Hijab, tabir, segala macam itu kan tak perlu. Kembali pada diri masing-masing. kalau memang tak mau pakai ya silakan, kalau mau pakai, silakan, jangan memaksakan” oke, jebakan kena. Pemikiran dia tentang hijab, kalau diringkas, ya intinya menolak pemakaian jilbab.
“Itu dia,” Waduh, teman saya yang atheis ini melek lagi. “Hadis-hadis kan tidak semuanya yang asli. Malah, saya dengar jaman dulu ada sultan yang „memesan‟ hadis untuk melanggengkan kekuasaannya. Kan dengan berpegangan hadis wanita lebih banyak masuk neraka daripada laki-laki, agamais itu jadi aneh. Wanita jadi determin, mau saja disuruh pakai hijab asal tak dibakar neraka. Memang itu doang tujuan berhijab?” Edan, dia memang mengaku atheis. Tetapi, aslinya dia islam. Keluarganya memang cukup liberal, namun mengasyikkan.
“Itu! Agama jadi alat laki-laki mempertahankan kekuasaannya, dan menguasai takdir wanita” Sahabat saya berkonklusi. “HTI dengan Hasymi itu sama, ya? Atau beda?”
“Beda. HTI itu intinya sih menegakkan pemerintahan islam (ya, ambil gampangnya lah, dia ini kan tak kenal pergerakan islam kontemporer) nah, Hasymi itu salafi. Ajaran islam paling
awal. Mereka tak pernah akur, malah cenderung saling mengafirkan. Hasymi ini, meski sedikit jumlahnya, di FBS sendiri massanya cukup mencolok. Bercadar. Jilbab mereka sangat lebar.” Memang, menurut sebagian mahzab, cadar itu wajib, sedang menurut mahzab lain, itu tidak wajib. Tetapi saya bingung menjelaskannya. Dia tak paham apapun tentang pengambilan sumber hukum islam. Nanti kalau saya jelaskan fungsi dan peran hadis, malam itu bisa bertambah panjang beberapa jam.
Saya memang sempat menyinggung masalah mahdab Syafii dan Maliki, namun dia kurang ngeh.
“Hasymi dan HTI ini yang kelihatan, mereka punya media” tutup saya.
“Bagaimana KAMMI-nya, di UNJ?”
Nah lho! Kok dia tahu KAMMI ya? Untung saya belum mengenalkan diri sebagai orang KAMMI. Saya pura-pura jadi orang kiri saja.
“KAMMI massanya tidak banyak, jadi tentang feminisme, bukan dikhususkan untuk itu. Tetapi, mereka punya departemen pemberdayaan perempuan, maka KAMMI disini bukan patriarkis. Cukup moderat...” bisa repot kalau dia tahu saya orang KAMMI. Masalahnya, Forum Sastra di Warung Apresiasi itu kiri sekali.
Meskipun disaat dia menanyakan itu, Deeto dan teman-teman saling berpandangan, mengingat saya adalah orang KAMMI yang agak berpengaruh di JBSI, namun bisa-bisanya menanggapi diskusi kiri macam ini.
Berbakat intel nih penulisnya....
Kembali soal perbincangan malam tadi, karya sastra yang kiri-kiri yang pernah kami pelajari adalah Bumi Manusia, Arus Balik, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Anna Karenina, karya-karya Tolstoy, dan Dr. Zhivago. Ini membahas pergolakan batin wanita yang dikerangkeng laki-laki posesif.
“Aku tertarik karya sastra, utamanya yang feminis. Masalahnya, bidang keilmuan anggota Mahardika tak memungkinkan untuk itu. Kebanyakan dari HI atau antropolog. Kan sastra itu alat propaganda yang efektif.”
Feminis-islamis banyak dikembangkan oleh Nawal El-Shadawi dari Mesir. Di Indonesia, jenis Feminis-Islamis masih sedikit, karena kebanyakan bukan feminis, tetapi teenlit. Bedanya, karya-karya feminis biasanya jelas-jelas menentang sebuah paham. Namun teenlit, segmented, untuk usia remaja. Teen.
Saya curiga, dia datang untuk menjaring massa. Dia sendiri mengaku dari HI Universitas Negeri Jogjakarta. UNJ juga ya?
Oke, UNY.
“Begini, perkembangan karya sastra feminis di Indonesia itu mulai pesat zaman Gus Dur berkuasa. Bebas sebebasnya. Nah, feminisme, memang tak bisa dipungkiri, masuk ke Indonesia lewat jalur Liberalisme. Ditebengkan, mirip NICA dan NATO. Orang-orang liberal ini lalu membentuk lembaga-lembaga, diantaranya Maarif Institute. Biangnya Ahmad Syafii Maarif. Awalnya, untuk mendegradasi pengaruh islam dalam negara, namun sebetulnya gerakan ini untuk memerdekakan hak-hak manusia yang dikekang atas nama kemaslahatan umum (cie ilah, pura-pura kiri)”
“Tapi kenapa ya, pengaruh mereka tak sepesat gerakan mahasiswa islam? Atau gerakan islamis lainnya yang kanan banget? Era Soeharto, islam itu kan hampir padam, penggerekan dimana-mana, sampai-sampai orang berjilbab saja takut. Tetapi, pada era reformasi, justru islam bisa bangkit dan gerakannya lebih progresif, lebih kuat dari gerakan liberalis dan feminis, yang notabene juga menjadi agenda reformasi?”
Saya membatin, jelas-jelas islam ini sistem ilahi. Bukankah telah kami berikan kepadamu, kemenangan yang nyata? Apabila datang pertolongan Allah, dan bangsa-bangsa berduyun-duyun kepada din-Allah? Hehehe... inilah, campur tangan Allah.
Kembali masalah gerakan, saya menjawab pura-pura sebagai budayawan: “Ya, dulu, islam disebarkan dengan istilah-istlah yang akrab di telinga rakyat. Dengan suluk, dengan sastra, dan juga perkembangannya telah sekian lama. Tetapi, feminisme disebarkan dengan istilah-istilah yang tidak merakyat (ambil kias dari bicara dengan bahasa kaum masing-masing). Mana ada tukang becak akrab dengan kata femine? Penggunaan istilah saja sudah merupakan hal sepele, namun vital. Apalagi, kajian feminisme cukup berat dan ribet.”
“Apakah mbak bergerak juga di bidang advokasi feminisme?” Kok pertanyaan saya tak nyambung ya dengan uraian di atas?
“Gitu ya, menyederhanakan bahasa pemikiran. Tentang advokasi, kami belum ada, baru ke tahap pengkajian dan penyebarluasan gagasan. Karena kami berbasis mahasiswa. Kami memang kesulitan biaya, juga tak ada tenaga ahli kesana”
Nah, diskusi malam tadi tentu menyadarkan kita tentang banyak hal. Jadi, gaul itu penting, lihat situasi di luar. Siapa musuh kita, siapa teman kita. Terlebih, musuh kita sekarang berupa konsep, yang tak bisa musnah hanya dengan turun ke jalan dan teriakan takbir. Konsep, yang pelan tapi pasti, mengincar kawan-kawan kita satu demi satu, dan kita terkadang lupa bahwa konsep itu bersemayam di kampus tanpa sempat ditangani.
Jika KAMMI Goes To Fakultas terdampar di FBS, kira-kira macam inilah tema diskusi yang akan berkembang. Beda dengan FT, misalnya. Beda juga dengan FE. Selain diskusi disini hanya dilaksanakan pada malam hari dengan tiga batang lilin di Puri Lingua, dan dua botol Aqua, pemikiran kiri mereka juga tajam-tajam.
Saya kelupaan memberikan info, kita didahului Didaktika ke FBS. Modusnya, beberapa minggu lalu sebelum tahun baru, mereka datang dengan kumpulan puisi Agus Subhan Malmae. Penyair baru, alumni gerakan 98 yang berbasis filsafat. Kumpulan puisinya sangat-
sangat marxis, bahkan judul puisinya yang menarik, Das Kapital, jelas-jelas mengandung nilai marxis-sosialis-komunis.
Caranya, mereka meminta kami mengkaji kumpulan puisi tersebut dan menjadikannya esai. Lalu, seminggu kemudian kami berdiskusi bersama. Di lorong Gedung O. Mereka juga menyiapkan esai tandingan, yang sangat-sangat marxis. Kebetulan, isi puisinya juga neo marxis yang dikaitkan dengan situasi Indonesia 1980-2004.
Gol. Mereka berhasil menggaet beberapa kawan-kawan saya.
Nah, seminggu kemudian, mereka mengadakan kajian lebih luas, agendanya membahas legalisasi ganja. Edan. Masalahnya, mereka mengundang JBSI dan JBSA. Sampai-sampai ketua BEMJ Arab hadir. Tentu, dengan bahasa kiri, mereka berdiskusi dan menyempurnakan pemikiran mereka.
Mendekati para seniman dan sastrawan untuk bergerak, sebenarnya sama mudahnya membakar premium dengan panas matahari saja. tetapi, yang bagaimana pergerakannya?
Seorang teman dekat Rendra pernah memberi saran pada kami pada suatu kesempatan, “Sastra yang baik, adalah sastra yang melawan. Itu sebabnya, sastra sifatnya konstruktif, terlepas dari kefiksian sebuah karya...”
Pesan-pesan anti pemerintah, pergerakan mahasiswa, mulai era Soe Hok Gie hingga Widji Thukul, dengan mudah membakar semangat demonstran, sama seperti karya-karya liberal yang mulai menemukan pena-pena yang tepat. Motif-motif perlawanan macam inilah yang harus kita kaji dengan baik, lalu mengarahkannya dengan kunci yang tepat.
Meski, tidak dipungkiri gerakan mahasiswa kebanyakan ditunggangi aliran-aliran baru, aneh, unik, ekstrim, dan sang mahasiswa, karena ilmunya terbatas, hanya bisa manggut-manggut terpesona.
Apakah sah? Ya sah-sah saja...
Masalahnya kan tinggal bagaimana kita menangkalnya. Gerakan mahasiswa itu keren, tetapi apa yang menjadi motif mereka bergerak, kadang aneh-aneh dan nyeleneh....
Seperti tulisan saya ini, mungkin aneh ya? Tulisan di bawah-bawah page kebanyakan ilmiah sekali, dan saya bukannya tak bisa, tetapi hanya terbiasa dengan cara ini. bisa saja saya menulisnya dengan gaya etimologis, hubungan x dengan y, atau judul-judul keras yang kaku. Mirip skrispsi (sudahlah, jangan bahas-bahas skripsi, kasihan abang-abang kita) Tetapi, tak jarang sulit dipahami. Maka, saya memilih gaya penulisan macam ini.
Makanya tak pernah tembus tajuk rencana....
Oleh : Amar Ar-Risalah
*penulis adalah mahasiswa JBSI, aktif di jurusan sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia, anggota LLMJ, pengurus KAMMI KOMSAT UNJ, dan nongkrong di depan tembok jurusan di Gedung Q.
Kafe ini boleh diadopsi kafe roti mantan mas‟ul kita: kafe berkonsep pergerakan dan ideologi, menyediakan diri khusus untuk mengembangkan konsep-konsep kiri setiap hari rabu, dan diberi nama acara Forum Sastra Rebo-an.
Cara ini terbukti efektif, dimana orang-orang besar sastra sering datang. Sebut saja pengarang sufistik Dharmadi, yang 26 Desember kemarin meluncurkan
bukunya, orang-orang Bengkel Teater, dan mungkin intel-intel dari BIN dan AD.
Ya iyalah, SBY itu Cuma lebih malu-malu saja dari Soeharto dalam hal intelijen. Aslinya sih, sama saja.
Asal punya selidik, saya tertarik menyelami lebih jauh. Karena diantara mereka, neo-liberalis dan feminis-marxis mulai menyelinap. Entah kenapa, salah seorang diantara mereka bertukar nomor dengan kami, yang akhirnya berbuntut pertemuan malam tadi.
Malam yang menarik untuk dipijat-pijat isinya, setelah lama hanya menyentuh karya-karya sangat kanan di lemari buku kita.
“Aku dari Lembaga Mahardika” jawabnya ketika pertanyaan dibuka.
“Lembaga apa itu?” saya mengingat-ingat sesuatu. “Pegiat Feminis... Pamanukan. Saya mantan ketuanya...”
Dia lulus tahun 2010. Penampilannya cukup femine, dengan rambut seperti Eko Priharyanto, dan kaus kuning lengan pendek.
Oke, cukup alasan untuk mengangkat ini ke grup PK KAMMI UNJ, batin saya.
Tetapi, saya harus mengenalkan diri sebagai apa padanya? Nanti saja. kita lanjutkan dulu kisah malam tadi.
“Mahardika itu bergerak di bidang feminisme. Kami sering mengkaji hal-hal patriarkis yang menetang asas-asas feminisme.” Katanya.
“Bicara feminisme dan sastra,” Sahut seorang teman saya yang mengaku Atheis, “Feminisme itu kan gejala-gejala penyetaraan tugas-tugas sosial perempuan dengan laki-laki, penyetaraan gender dalam masyarakat. Nah, di karya sastra, utamanya fiksi, kami baru saja nyemplung di masalah-masalah feminisme”.
Saya diam. Saya ingin menemukan lebih banyak informasi daripada turut bicara. Di UNJ, JBSI, ada seorang dosen yang menjadi tokoh feminisme Indonesia. Ibu Novi namanya. Boleh sekali-kali kita ajak diskusi.
“Ngomong-ngomong, akhir-akhir ini kan sering timbul kasus perkosaan di angkot, di mana-mana. Nah, itulah yang kami sering kaji. Masyarakat kita, saya akui masyarakat yang cukup patriarkis. Mereka membuat laki-laki posesif terhadap wanita. Akhirnya, wanita menjadi determin, terbelenggu dalam keterpaksaannya menerima tugas sosial” Sahabat ini menguraikan pendiriannya.
“Pemerintah membakukan adat patriarkis ini dalam bentuk perda, lihat saja, perempuan dilarang mengangkang ketika naik motor..” Hm. Lhokseumawe.
“Saya akui. Memang, masyarakat indonesia, ya, disekitar kita kan adanya jawa dan sunda. Mereka memang sangat memegang mitos dan adat yang terbukti jelas sangat patriarkis. Akhirnya, karena ini terus diturunkan kepada generasi selanjutnya, dan generasi –generasi ini menyaksikan fenomena patriarki sebagai kewajaran, akhirnya mereka menjadi agen-agen patriarki ini kepada generasi selanjutnya” Saya angkat bicara.
“Iya, memang. Keluarga itu inti dari pewarisan nilai dan norma. Tantangan feminisme kedepan, memang berbeda dengan negara lain. Indonesia mengalami masalah kultural, yang diperkuat dengan sistem kerajaan. Kenapa kerajaan? Ya, tanpa disadari, ciri kerajaan di Indonesia belum hilang, bapakisme. Nah, bapakisme inilah juga yang turut memperkeruh tantangan buat feminisme. Ada mitos-mitos bahwa perempuan tak bisa menjadi pemimpin (jangan bahas ajaran islam dulu ya, ini masih Jawa) dan hanya menangani urusan domestik keluarga, rumah tangga dan dapur” dia dengan berapi-api menguraikan kembali.
“Ya, itulah Indonesia. Pasalnya, kadang pegiat feminisme menyamakan problem yang terjadi di negara ini dengan negara lain yang terang memiliki masalah sosial yang berbeda. Feminis yang muncul belakangan tidak menyadari ini. akhirnya, mereka tidak berbeda dengan gerakan-gerakan kiri lainnya. Kita ambil contoh, perancis. Masalah mereka bukan pada perlindungan hak-hak perempuan, tetapi pengembalian hak-hak yang berlebihan. Akhirnya masyarakat kehilangan sekat antara laki-laki dan perempuan, dan perempuan disana merasakan sendiri kebebasan malah mengeksploitasi mereka. Itulah yang menjadi tugas-tugas feminisme disana. Sementara, di Indonesia, tugas-tugas feminisme berbeda” Saya menimpali.
“Tugas feminisme disini, di negara ini, membebaskan paradigma perempuan mengenai hak mereka. Hak itu sudah pasti tidak sama, namun imbang dengan laki-laki. Jika ada kasus perkosaan misalnya, kita melihat perempuan sebagai korban, dan lelaki sebagai pelaku. Tetapi, sudut pandang yang seharusnya tidaklah demikian” hm, Ini kata-kata saya yang paling berat sejak beberapa minggu lalu.
“Tetapi, anehnya, negara kita seperti mengalami kemunduran pemikiran jika bicara pemimpin tidak boleh kaum wanita. Jika alasannya bertentangan dengan adat, kita kenal Tri Bhuwana Tunggadewi, ratu Majapahit. Juga ada Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia, yang islam. Meski bukan ratu”
“Ada juga tuh ratu dari kerajaan Pasai, tapi lupa namanya...” Teman saya yang lain menanggapi.
“betul. Nah, gerakan Mahardika ini menyadari itu, maka kami membuat sekolah feminisme yang berpusat di Pamanukan. Ada kurikulumnya, yang dirincikan. Awalnya, disusun pengenalan awal teori-teori feminisme”
“Kurikulum?” Saya mulai mencium sesuatu yang besar. Amat besar.
“Ya, ada tingkat-tingkatnya. Tingkat awal, untuk mengubah paradigma. Tingkat kedua, untuk mengenalkan teori dan nilai. Ketiga, untuk mulai melakukan pergerakan. Itu susunan kurikulumnya. Nah, sasarannya ya jelas, mahasiswa (ups, keceplosan...) dan buruh. Serikat buruh ini yang mulai terbuka matanya mengenai isu-isu. Kebanyakan kalau dari mahasiswa, ya mahasiswa yang suka diskusi, wanita. Mereka tertarik ketika menemukan banyak kesamaan antara kasus yang mereka alami dengan apa yang disoroti oleh feminisme”
“Nah lho, yang buruh bagaimana?” saya memburu penjelasannya lebih banyak.
“Yang buruh, itu lebih sederhana. Maklum, mereka kan tidak pernah baca buku. Nah, entah kenapa mereka lebih aktif bergerak dibanding mahasiswa. Mungkin karena kasus yang mereka alami juga lebih berat. Contohnya, ada karyawati, yang promosi menjadi manager, namun ternyata harus mau diajak tidur dulu oleh atasannya, demi naik jabatan ini. nah, ini kan kasus yang amat genting. Contoh lain, pelecehan yang dilakukan sesama karyawan, terutama pada shift malam yang dijalankan beberapa pabrik. Ini nyata terjadi, dan kebanyakan perempuan tak mendapatkan hak advokasi dan pengetahuan yang benar tentang hak mereka. Mereka malah malu untuk melapor, kadung menganggap dirinya hina” terangnya. Luar biasa, gerakan ini mulai sangat tajam. Kalah kita.
Nanti, boleh juga kita buat kurikulum kanan, misalnya kurikulum pendidikan islam dari Quthb kita analisa dan dijadikan kurikulum KAMMI, dan sasarannya ke luar anggota KAMMI.
“Bagaimana peta ideologi kampus ini, mas?” Sebetulnya sih pertanyaan dia tak begini redaksinya, tetapi lebih keren kalau ditulis begini.
“Saya pribadi sempat memetakan, ada 3 kekuatan besar yang mendominasi. Marxis, islamis, dan seniman-seniman sosialis (bilang aja anti kemapanan, alias ga modal). Yang marxis, ada Didaktika. Lembaga pers kampus, yang bisa dianggap profesional. Saya dekat dengan mereka. Nah, hubungan mereka dengan feminisme, mereka seringkali mengangkat topik diskusi marxisme dan islam, tentu, yang diserang jelas, islam dan penindasan terhadap hak-hak perempuan, seperti, beberapa minggu lalu ada wacana jilbab itu bukan kewajiban, tetapi pilihan”
“Yang parah, mereka terakhir bincang masalah pelegalan ganja....”
“Yang islam, ada tiga juga yang besar. HMI, HTI, dan Hasymi. Yang HMI, sebetulnya kurang berpengaruh dalam hal pemikiran feminisme. Tetapi jumlah mereka dan besarnya
nama mereka, membuat ia menjadi semacam ikon islam kampus. Ada juga LDK (saya juga bingung, kenapa jadi cuma tiga yang saya sebutkan, harusnya kan empat dengan LDK). Nah, di BEM JBSI dan JBSA, LDK ini pernah menjadi isu besar ketika rapat BEMJ harus memakai hijab. Penolakan muncul dari mana-mana...”
“Ya iyalah! Apa korelasinya antara rapat dengan hijab, dan terselesaikannya agenda? Pengalaman membuktikan, rapat tak pernah selesai-selesai. Yang laki-laki ketawa ketiwi, yang perempuan nggak tahu ngapain” Nah lho, teman saya yang atheis tadi menyela. Ia geram dengan LDK, karena pada satu waktu, ia pernah bergesekan.
Ketika PKMJ, dia menjadi panitia pengisi dengan terpaksa, karena panitia utama pada seksi berhalangan. Karena dia seorang trainer outbound, dia mengisi permainan ice breaker. Salah satunya, melibatkan interaksi gender dengan masuk ke kolong kaki. Di tengah permainan, tiba-tiba seorang senior, yang dianggap ikon LDK JBSI, menghentikan proses dan memprotes.
Penonton kecewa.
Dia juga, maka dari itu, dia menjadi anti LDK. Dia memang seorang yang kritis.
“Nah! (Sahabat saya ini seperti meloncatkan bohlam lima watt dari kepalanya) itu isu utamanya. Feminis religis. Hak-hak wanita seringkali hilang atas dasar penegakan agama. Oh ya, bagaimana dengan HTI dan Hasymi? Apa bedanya?”
“Saya melanjutkan, “HTI itu massanya memang sedikit, tetapi pemikirannya keras, memang tidak fokus feminisme juga, tetapi dia keras terhadap wanita” saya sengaja tak memberikan klu, “keras” itu yang bagaimana. Kalimat jebakan.
“Iya itu, aku geram. Lihat-lihatan saja dibilang melanggar agama. Memangnya agama apa? Hijab, tabir, segala macam itu kan tak perlu. Kembali pada diri masing-masing. kalau memang tak mau pakai ya silakan, kalau mau pakai, silakan, jangan memaksakan” oke, jebakan kena. Pemikiran dia tentang hijab, kalau diringkas, ya intinya menolak pemakaian jilbab.
“Itu dia,” Waduh, teman saya yang atheis ini melek lagi. “Hadis-hadis kan tidak semuanya yang asli. Malah, saya dengar jaman dulu ada sultan yang „memesan‟ hadis untuk melanggengkan kekuasaannya. Kan dengan berpegangan hadis wanita lebih banyak masuk neraka daripada laki-laki, agamais itu jadi aneh. Wanita jadi determin, mau saja disuruh pakai hijab asal tak dibakar neraka. Memang itu doang tujuan berhijab?” Edan, dia memang mengaku atheis. Tetapi, aslinya dia islam. Keluarganya memang cukup liberal, namun mengasyikkan.
“Itu! Agama jadi alat laki-laki mempertahankan kekuasaannya, dan menguasai takdir wanita” Sahabat saya berkonklusi. “HTI dengan Hasymi itu sama, ya? Atau beda?”
“Beda. HTI itu intinya sih menegakkan pemerintahan islam (ya, ambil gampangnya lah, dia ini kan tak kenal pergerakan islam kontemporer) nah, Hasymi itu salafi. Ajaran islam paling
awal. Mereka tak pernah akur, malah cenderung saling mengafirkan. Hasymi ini, meski sedikit jumlahnya, di FBS sendiri massanya cukup mencolok. Bercadar. Jilbab mereka sangat lebar.” Memang, menurut sebagian mahzab, cadar itu wajib, sedang menurut mahzab lain, itu tidak wajib. Tetapi saya bingung menjelaskannya. Dia tak paham apapun tentang pengambilan sumber hukum islam. Nanti kalau saya jelaskan fungsi dan peran hadis, malam itu bisa bertambah panjang beberapa jam.
Saya memang sempat menyinggung masalah mahdab Syafii dan Maliki, namun dia kurang ngeh.
“Hasymi dan HTI ini yang kelihatan, mereka punya media” tutup saya.
“Bagaimana KAMMI-nya, di UNJ?”
Nah lho! Kok dia tahu KAMMI ya? Untung saya belum mengenalkan diri sebagai orang KAMMI. Saya pura-pura jadi orang kiri saja.
“KAMMI massanya tidak banyak, jadi tentang feminisme, bukan dikhususkan untuk itu. Tetapi, mereka punya departemen pemberdayaan perempuan, maka KAMMI disini bukan patriarkis. Cukup moderat...” bisa repot kalau dia tahu saya orang KAMMI. Masalahnya, Forum Sastra di Warung Apresiasi itu kiri sekali.
Meskipun disaat dia menanyakan itu, Deeto dan teman-teman saling berpandangan, mengingat saya adalah orang KAMMI yang agak berpengaruh di JBSI, namun bisa-bisanya menanggapi diskusi kiri macam ini.
Berbakat intel nih penulisnya....
Kembali soal perbincangan malam tadi, karya sastra yang kiri-kiri yang pernah kami pelajari adalah Bumi Manusia, Arus Balik, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Anna Karenina, karya-karya Tolstoy, dan Dr. Zhivago. Ini membahas pergolakan batin wanita yang dikerangkeng laki-laki posesif.
“Aku tertarik karya sastra, utamanya yang feminis. Masalahnya, bidang keilmuan anggota Mahardika tak memungkinkan untuk itu. Kebanyakan dari HI atau antropolog. Kan sastra itu alat propaganda yang efektif.”
Feminis-islamis banyak dikembangkan oleh Nawal El-Shadawi dari Mesir. Di Indonesia, jenis Feminis-Islamis masih sedikit, karena kebanyakan bukan feminis, tetapi teenlit. Bedanya, karya-karya feminis biasanya jelas-jelas menentang sebuah paham. Namun teenlit, segmented, untuk usia remaja. Teen.
Saya curiga, dia datang untuk menjaring massa. Dia sendiri mengaku dari HI Universitas Negeri Jogjakarta. UNJ juga ya?
Oke, UNY.
“Begini, perkembangan karya sastra feminis di Indonesia itu mulai pesat zaman Gus Dur berkuasa. Bebas sebebasnya. Nah, feminisme, memang tak bisa dipungkiri, masuk ke Indonesia lewat jalur Liberalisme. Ditebengkan, mirip NICA dan NATO. Orang-orang liberal ini lalu membentuk lembaga-lembaga, diantaranya Maarif Institute. Biangnya Ahmad Syafii Maarif. Awalnya, untuk mendegradasi pengaruh islam dalam negara, namun sebetulnya gerakan ini untuk memerdekakan hak-hak manusia yang dikekang atas nama kemaslahatan umum (cie ilah, pura-pura kiri)”
“Tapi kenapa ya, pengaruh mereka tak sepesat gerakan mahasiswa islam? Atau gerakan islamis lainnya yang kanan banget? Era Soeharto, islam itu kan hampir padam, penggerekan dimana-mana, sampai-sampai orang berjilbab saja takut. Tetapi, pada era reformasi, justru islam bisa bangkit dan gerakannya lebih progresif, lebih kuat dari gerakan liberalis dan feminis, yang notabene juga menjadi agenda reformasi?”
Saya membatin, jelas-jelas islam ini sistem ilahi. Bukankah telah kami berikan kepadamu, kemenangan yang nyata? Apabila datang pertolongan Allah, dan bangsa-bangsa berduyun-duyun kepada din-Allah? Hehehe... inilah, campur tangan Allah.
Kembali masalah gerakan, saya menjawab pura-pura sebagai budayawan: “Ya, dulu, islam disebarkan dengan istilah-istlah yang akrab di telinga rakyat. Dengan suluk, dengan sastra, dan juga perkembangannya telah sekian lama. Tetapi, feminisme disebarkan dengan istilah-istilah yang tidak merakyat (ambil kias dari bicara dengan bahasa kaum masing-masing). Mana ada tukang becak akrab dengan kata femine? Penggunaan istilah saja sudah merupakan hal sepele, namun vital. Apalagi, kajian feminisme cukup berat dan ribet.”
“Apakah mbak bergerak juga di bidang advokasi feminisme?” Kok pertanyaan saya tak nyambung ya dengan uraian di atas?
“Gitu ya, menyederhanakan bahasa pemikiran. Tentang advokasi, kami belum ada, baru ke tahap pengkajian dan penyebarluasan gagasan. Karena kami berbasis mahasiswa. Kami memang kesulitan biaya, juga tak ada tenaga ahli kesana”
Nah, diskusi malam tadi tentu menyadarkan kita tentang banyak hal. Jadi, gaul itu penting, lihat situasi di luar. Siapa musuh kita, siapa teman kita. Terlebih, musuh kita sekarang berupa konsep, yang tak bisa musnah hanya dengan turun ke jalan dan teriakan takbir. Konsep, yang pelan tapi pasti, mengincar kawan-kawan kita satu demi satu, dan kita terkadang lupa bahwa konsep itu bersemayam di kampus tanpa sempat ditangani.
Jika KAMMI Goes To Fakultas terdampar di FBS, kira-kira macam inilah tema diskusi yang akan berkembang. Beda dengan FT, misalnya. Beda juga dengan FE. Selain diskusi disini hanya dilaksanakan pada malam hari dengan tiga batang lilin di Puri Lingua, dan dua botol Aqua, pemikiran kiri mereka juga tajam-tajam.
Saya kelupaan memberikan info, kita didahului Didaktika ke FBS. Modusnya, beberapa minggu lalu sebelum tahun baru, mereka datang dengan kumpulan puisi Agus Subhan Malmae. Penyair baru, alumni gerakan 98 yang berbasis filsafat. Kumpulan puisinya sangat-
sangat marxis, bahkan judul puisinya yang menarik, Das Kapital, jelas-jelas mengandung nilai marxis-sosialis-komunis.
Caranya, mereka meminta kami mengkaji kumpulan puisi tersebut dan menjadikannya esai. Lalu, seminggu kemudian kami berdiskusi bersama. Di lorong Gedung O. Mereka juga menyiapkan esai tandingan, yang sangat-sangat marxis. Kebetulan, isi puisinya juga neo marxis yang dikaitkan dengan situasi Indonesia 1980-2004.
Gol. Mereka berhasil menggaet beberapa kawan-kawan saya.
Nah, seminggu kemudian, mereka mengadakan kajian lebih luas, agendanya membahas legalisasi ganja. Edan. Masalahnya, mereka mengundang JBSI dan JBSA. Sampai-sampai ketua BEMJ Arab hadir. Tentu, dengan bahasa kiri, mereka berdiskusi dan menyempurnakan pemikiran mereka.
Mendekati para seniman dan sastrawan untuk bergerak, sebenarnya sama mudahnya membakar premium dengan panas matahari saja. tetapi, yang bagaimana pergerakannya?
Seorang teman dekat Rendra pernah memberi saran pada kami pada suatu kesempatan, “Sastra yang baik, adalah sastra yang melawan. Itu sebabnya, sastra sifatnya konstruktif, terlepas dari kefiksian sebuah karya...”
Pesan-pesan anti pemerintah, pergerakan mahasiswa, mulai era Soe Hok Gie hingga Widji Thukul, dengan mudah membakar semangat demonstran, sama seperti karya-karya liberal yang mulai menemukan pena-pena yang tepat. Motif-motif perlawanan macam inilah yang harus kita kaji dengan baik, lalu mengarahkannya dengan kunci yang tepat.
Meski, tidak dipungkiri gerakan mahasiswa kebanyakan ditunggangi aliran-aliran baru, aneh, unik, ekstrim, dan sang mahasiswa, karena ilmunya terbatas, hanya bisa manggut-manggut terpesona.
Apakah sah? Ya sah-sah saja...
Masalahnya kan tinggal bagaimana kita menangkalnya. Gerakan mahasiswa itu keren, tetapi apa yang menjadi motif mereka bergerak, kadang aneh-aneh dan nyeleneh....
Seperti tulisan saya ini, mungkin aneh ya? Tulisan di bawah-bawah page kebanyakan ilmiah sekali, dan saya bukannya tak bisa, tetapi hanya terbiasa dengan cara ini. bisa saja saya menulisnya dengan gaya etimologis, hubungan x dengan y, atau judul-judul keras yang kaku. Mirip skrispsi (sudahlah, jangan bahas-bahas skripsi, kasihan abang-abang kita) Tetapi, tak jarang sulit dipahami. Maka, saya memilih gaya penulisan macam ini.
Makanya tak pernah tembus tajuk rencana....
Oleh : Amar Ar-Risalah
*penulis adalah mahasiswa JBSI, aktif di jurusan sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia, anggota LLMJ, pengurus KAMMI KOMSAT UNJ, dan nongkrong di depan tembok jurusan di Gedung Q.
Langganan:
Posting Komentar
(Atom)
luar biasa perang pemikiran disana..mudah2an yang bisa melakukan ini tidak hanya si penulis...tapi juga bisa tertular ke semua kader kammi.pondasinya kuat jadi gak khawatir mau diskusi dengan temen2 kiri sekalipun
BalasHapussalam cinta dan keadilan dari kammi malang
sebagai ortu yg anaknya di UNJ khawatir, sdh sekuat apakah pondasi anak q u kemudian bs memagari dirinya dr pengaruh buruk. Smg Alloh SWT mlindungi anak2 muslim dr pengaruh pemikiran yg buruk. aamiin.
BalasHapus