Neraca Keadilan 60 Tahun
Beberapa hari terakhir ini kita dikejutkan
oleh suatu peristiwa yang mungkin sejarah akan mencatatnya sebagai suatu
tragedy dalam dunia hokum di Indonesia.Tragedi tersebut adalah tragedy
penangkapan ketua Mahkamah Konstitusi , Akil Mochtar , yang diduga terlibat
dalam sengketa pemilihan ketua daerah (pilkada).
Memang sangat disayangkan , terbongkarnya
praktek haram tersebut di Mahkamah Konstitusi membuat lembaga-lembaga
pemerintahan di Indonesia sudah krisis akan moral terlebih lagi kepercayaan
dari rakyat.Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif atau penegak hokum
yang dikenal dengan legitimasi “lembaga bersih” pun ikut terkapar.Tragedi ini
akhirnya menjadi pelengkap derita perpolitikan di Indonesia.
Lalu ketika system hokum taka da lagi yang
bias dipercaya , kemana lagi kita akan mengadukan permasalahan kita?
Jika kita kembali lagi ke tanggal 17 April
2013 , ketika Akil Mochtar melakukan sumpah atas nama Al-Quran dan Tuhannya
terhadap amanah yang akan dijalaninya selama 5 tahun ke depan seolah menguap
tak berbekas jika kita lihat realitas yang terjadi sekarang.Al-quran dan segala
sejarah yang tertulis didalamnya seolah tak bias menjadi pegangan dalam
kehidupannya menghadapi persoalan hokum di Indonesia.
Belajar
Dari Sejarah
Tak akan pernah bosan seharusnya kita jika
mendengar atau pun dinasehati untuk selalu belajar dari Sejarah.Karena
sejatinya , sejarah hanyalah pengulangan suatu kejadian , hanya saja pelaku dan
latarnya yang membedakan.
Tentu kita sebagai warga Indonesia familiar
dengan istilah “JAS MERAH”.Suatu singkatan yang dicetuskan oleh founding father
Negara kita ini yang merupakan singkatan dari Jangan Sekali-kali Melupakan
Sejarah.Berarti atau tidaknya sejarah memang harus kita pelajari agari kita
bias meletakkan sikap-sikap terbaik apalagi jika dalam konteks pemegang amanah
, pastinya kita harus belajar dari orang-orang terdahulu terkait kesalahan dan
kesuksesannya dalam menjalankan amanah.
Neraca
Keadilan 60 Tahun
Mungkin tidak banyak orang yang tahu akan
sosok Syuraih.Beliau adalah Tabiin yang diangkat menjadi Qadhi pada masa
kekhalifahan Umar Bin Khattab.Syuraih menjadi Qadhi di pengadilan selama 60
tahun secara berturut-turut sejak masa khilafah Umar bin Khattab , lalu Usman
bin Affan , lalu Ali bin Abi Thalib , Muawiyah serta khalifah setelah Mu’awiyah
dari Bani Umayyah.
Pegadilan Islam bersinar karena keindahan
keputusan-keputusan Syuraih dan semerbak indahnya kepatuhan dari kamu muslimin
dan non-muslimin.
Ada salah satu kisah yang sarat akan hikmah
dari Beliau. Hari itu, amirul mukminin Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu
membeli seekor kuda dari seorang dusun. Setelah membayarnya, beliau menaiki
kuda tersebut dan bermaksud pulang menuju rumahnya. Namun tak seberapa jauh
dari tempat itu, tiba-tiba kuda tersebut menjadi cacat dan tak mampu
melanjutkan perjalanan. Maka Umar membawanya kembali kepada si penjual seraya
berkata,
Umar: “Aku kembalikan kudamu, karena
ternyata dia cacat.”
Penjual: “Tidak wahai amirul mukminin, tadi
aku menjualnya dalam keadaan baik.”
Umar: “Kita cari seseorang yang akan
memutuskan permasalahan ini.
Penjual: “Aku setuju, aku ingin Syuraih bin
al-Harits al-Kindi menjadi hakim bagi kita berdua.”
Umar: “Mari.”
Amirul mukminin Umar bin Khathab bersama
penjual kuda tersebut mendatangi Syuraih. Umar mengadukan penjual itu
kepadanya. Setelah mendengarkan juga keterangan dari orang dusun tersebut,
Syuraih menoleh kepada Umar bin Khathab sambil berkata,
Syuraih: “Apakah Anda mengambil kuda
darinya dalam keadaan baik?”
Umar: “Benar.”
Syuraih: “Ambillah yang telah Anda beli
wahai amirul mukminin, atau kembalikan kuda tersebut dalam keadaan seperti
tatkala Anda membelinya.”
Umar: (memperhatikan Syuraih dengan takjub
lalu berkata) “Hanya beginikah pengadilan ini? Kalimat yang singkat, dan hukum
yang adil. Berangkatlah ke Kufah, karena aku mengangkatmu menjadi qadhi di
sana.”
Inilah yang menjadi salah satu pertimbangan
dari khalifah Umar mengangkat Syuraih menjadi Qadhi pada masa
kekahlifahannya.Walau pada saat itu masih banyak sahabat tapi Umar lebih memilih
seorang tabi’in untuk menjadi penegak hokum saat itu.
Semoga para penegak hokum kita bias
menyempatkan diri untuk kembali melihat sejarah-sejarah emas islam terkait
penegakan hokum.Karena sejatinya banyak sekali hikmah yang bias kita gali dari
tauladan syuraih yang dalam kiprahnya tidak pernah memandang tinggi-rendah
suatu jabatan atau tali persaudaraan ketiak berhadapan dengan hokum.
Referensi :
Ra’fat Al-Bassya , Abdurrahman.Mereka Adalah Para TabiĆn.2010.Solo: Pustaka At-Tibyan
.:: Nurachman Ihya ::.
Departemen Humas Gerakan
Langganan:
Posting Komentar
(Atom)
0 komentar:
Posting Komentar