Sisi Eksistensialisme Film Sidney White
"Orang boleh
pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam
masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian" ~Pramoedya
Ananta Toer~
Saya suka dengan
quote pembuka tulisan ini. Berawal dari mengobrak-abrik dashboard tumblr dan
sedikit mengaitkan tulisan kader terpikir edisi revisi ini. Setiap orang pasti
memiliki kemampuan menulis yang berbeda. Sebagian dari mereka mengambil topik
politik, pemerintahan dkk sebagian lagi mengambil topik sastra. Tulisan di
dashboard saya mungkin termasuk tipe kedua, topik sastra dengan analisis
filsafat.
Mereka yang doyan
menonton film mungkin pernah menonton film ini. Sidney White juga dikenal
dengan Sydney White and the
Seven Dorks. Film keluaran 2007 ber-genre film komedi remaja dibintangi
oleh Amanda Bynes, Sara Paxton, dan Matt Long, dan diambil dari cerita Snow
White and the Seven Dwarfs. Dalam film Sidney White ada beberapa
tokoh utama, antara lain ; Sidney White (Amanda Bynes) , seorang mahasiswa
baru di Southern Atlantic University, merupakan pribadi yang supel dan mudah
untuk menjalin pertemanan dengan siapapun, Rachel Witchburn (Sara Paxton),
presiden perkumpulan Kappa di Southern Atlantic University, dan Tyler Prince (Matt
Long), presiden perkumpulan Beta.
Di Southern Atlantic
University ada 2 perkumpulan yang amat di-istimewa-kan, yaitu Kappa
(perkumpulan khusus putri) dan Beta (perkumpulan khusus putra). Kenapa
di-istimewa-kan? Karena hanya orang - orang yang mempunyai keturunan dari
anggota Kappa / Beta terdahulu lah yang dapat bergabung dalam perkumpulan ini.
Memang tergolong exclusive, tapi nyatanya anggota perkumpulan itu mengadakan sebuah
peloncoan untuk anggota baru, siapa yang ‘pantas’ dan siapa yang ‘tidak’.
Sidney awalnya amat dipertimbangkan untuk menjadi anggota Kappa karena kriteria
fisik yang menurut Rachel tidak memenuhi syarat, sayangnya tidak bisa dicegah
karena Sidney merupakan pewaris Kappa dari ibunya. Hari berganti hari, Rachel
berusaha menyingkirkan Sidney dari Kappa apalagi setelah Rachel mengetahui
bahwa Tyler tertarik dengan pribadi Sidney. Hingga Sidney menemukan perkumpulan
baru yang cocok dengan hati nya, di vortex, dengan 7mahasiswa pria yang
dianggap aneh oleh mahasiswa-mahasiswa lain.
Suatu hari, Sidney berfikir untuk mendaftarkan anggota vortex sebagai
dewan pengurus kampus setelah mengetahui gaya kepemimpinan Rachel yang
sewenang-wenang dan berencana memusnahkan macam-macam orang ‘aneh’ di kampus
seperti anggota vortex. Awalnya ia mengalami kesulitan selama kampanye karena
mahasiswa kampus cenderung ‘golput’ ketika Rachel mengajukan diri sebagai dewan
pengurus dan itu jugalah yang mengakibatkan Rachel menang dalam pencalonan.
Sidney berfikir keras mendapat banyak dukungan dari orang-orang yang ‘tak
terlihat’ di kampus, dengan ide cerdasnya itu akhirnya ia bisa menjadi dewan
pengurus kampus mengalahkan Rachel dari kepengurusan sebelumnya.
7 pria yang lebih awal tinggal di vortex adalah orang - orang yang tak begitu
di anggap keberadaannya oleh mahasiswa lain. Pribadi mereka dianggap aneh
karena mereka penghuni vortex dan penampilan mereka terkesan ‘nyentrik’. Mereka
adalah Gurkin seorang blogger peoplespunisher.com dan pencipta game ‘Gurkin of
Honor’ melawan game ‘Medal of Honor’, Terrence yang telah 8tahun menjadi
mahasiswa SAU, George anggota semacam kepanduan yang tidak lulus - lulus
tingkat dari Junior Tiger Guide menjadi Tiger Guide, Embele dari Nigeria yang
masih sulit beradaptasi dengan pergantian waktu antara siang dan malam, Jeremy
yang pemalu dan kerap berbicara dengan boneka tangan anjingnya, Lenny yang
alergi terhadap macam - macam benda, dan Sanford yang begitu tertarik untuk
menjalin hubungan dekat dengan wanita tetapi tak pernah berhasil.
Ditelaah
lebih dalam, film ini menekankan sisi eksistensialismenya secara implisit jika
penonton dengan jeli memahami. Apa itu
eksistensialisme? Menurut Wikepedia.com, Eksistensialisme adalah aliran filsafat
yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang
bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak
benar.Ini merupakan aliran filsafat barat dengan Jean-Paul Sartre
sebagai bapak eksistensialism dan tokoh filsafat lain seperti Søren Kierkegaard, Albert Camus,
Frederick Nietchze. Dimana sisi
eksistensialismenya? Di film ini, melalui pemilihan dewan pengurus universitas
Sidney memaksa 7 teman pria nya ikut agar mereka bisa mengambil alih gaya
kepemimpinan Rachel yang terkesan hanya mementingkan mahasiswa kalangan
populer. Secara implisit Sidney memaksa 7 teman pria nya untuk memunculkan
ke-eksistensi mereka agar mereka dan vortex ‘dianggap’ dan akhirnya mereka
dipilih menjadi dewan pengurus universitas oleh mahasiswa lainnya. Dalam ilmu
filsafat disebutkan salah satu dampak negatif eksistensialisme yaitu
memperhitungkan situasi. Begitu juga dalam film ini, Sidney memulai kampanyenya
dengan pendekatan dengan kelompok - kelompok di kampus seperti Pacific
Islanders organization, ARMY R.O.T.C., Jewish Students Union, kelompok marching
band kampus, Gay, Lesbian, Transgender and Searching Alliance, dan kelompok
paduan suara. Memang terkesan seperti kampanye Presiden Kennedy tahun 1960.
Kennedy merupakan orang luar dan penganut katolik tidak pernah dipilih menjadi
presiden. Tetapi kaum minoritas, wanita, kaum miskin lah yang memenangkan
pemilihan untuk John Kennedy. Dalam pidato debat kandidatnya Sidney mengatakan,
“Aku telah menemui orang - orang yang hebat di luar kelompok Kappa dan
sebelumnya aku hanya ingin diterima. Tapi aku tahu bahwa kita semua ingin
diterima”. Sedangkan menurut J.P. Sartre “Manusia itu ada tidak hanya ada tapi
dia selamanya harus membangun adanya, adanya harus dibentuk dengan tidak
henti-hentinya”. Ini menunjukkan bahwa manusia itu tidak akan dianggap ada
hingga ia berusaha dan mencari jalan sampai ia dianggap ada oleh orang lain.
Dalam eksistensialisme manusia bukanlah ‘apa - apa’ hingga ia menjadikan
dirinya ‘apa -apa’. Dan ia bertanggung jawab atas pilihannya bukan hanya
bertanggung jawab terhadap diri nya sendiri tetapi juga bertanggung jawab
terhadap orang lain yang berpengaruh atas pilihan dirinya. Ia bebas, bebas
menentukan pilihan hidupnya, bebas menjadikan diri nya seperti ‘apa’, ia bebas
mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup
dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.
Mungkin bisa
mengambil contoh tentang Albert Einstein, menurut saya. Saat masih muda beliau
adalah orang yang pendiam dan terlambat dalam kemampuan berbicara. Umur 21
tahun beliau dinyatakan tidak lulus kuliah, lalu ia melamar menjadi asisten
dosen tapi nyatanya beliau ditolak. Setelah melalui masa - masa yang sulit
tetapi Einstein tetap berprestasi secara akademik. Namun pada akhirnya ia
bereksistensi dan menggeluti bidang fisika hingga melahirkan teori relativitas
umum dan khusus yang digunakan sebagai inspirasi untuk membuat bom atom.
Bom inilah yang dijatuhkan di atas kota Hiroshima dan Nagasaki saat Perang
Dunia II berlangsung. Eisntein yang masa kecil nya pendiam dan tak begitu
banyak bermain dengan orang lain adalah contoh eksistensialisme. Ia berusaha
membuat dirinya ‘ada’ dan keberadaannya berarti bagi orang lain.
Dalam
eksistensialisme nasehat Sartre yang terkenal adalah “Kamu bebas,
memiliki kebebasan, maka tentukanlah pilihanmu, temukanlah pilihanmu sendiri,”
kata Sartre, ”Pilihlah, yaitu, ciptakan!”. Eksistensialisme memandang
manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh
dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan
dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya. Sidney bereksistensi
hingga mahasiswa lain mengganggap vortex dan penghuninya itu ‘ada’, ia juga
membuat mahasiswa lain ‘melek mata’ terhadap kelompok - kelompok organisasi
kampus yang kerap terabaikan karena ulah Rachel dan kelompoknya.
Mengutip
quote Pramoedya Ananta Toer di awal tulisan ini yang mengatakan “… Menulis adalah bekerja untuk
keabadian", bekerja untuk keabadian bisa jadi merupakan salah satu cara eksistensi
penulis –tetap saja ini tergantung sudut pandang masing-masing orang. Orang
bebas bereksistensi bagaimana pun caranya dan bagi sebagian orang yang senang
menulis pasti menyalurkan eksistensinya melalui tulisan. Sebentar, contoh
eksistensi disini bukan seperti Lady Gaga yang setiap kali pentas memakai ciri
khas yang berbeda lalu oleh sebagian orang dianggap eksis, ataupun kejadian
seseorang yang bunuh diri dan dianggap trend terkenal, ataupun iklan Axis yang
setiap iklannya selalu jadi perbincangan lalu dianggap eksis. Bukan. Eksistensi
lebih menekankan apakah orang tersebut bermakna dan dianggap ada oleh orang
lain.
Menulis
tak harus melulu menekankan tipe menulis academic
writing seperti yang saya dapatkan di perkuliahan. Bukan pula harus
mengambil topik – topik berat yang tidak dikuasai. Menulis bukan aktivitas agar
dianggap hebat oleh orang lain. Menulis itu tentang penyaluran ide, permainan
diksi, pemilihan ritme kata dan penghayatan emosi. Jika memang tidak terbiasa
mengambil topik berat, mengapa bersikukuh? Bukannya menulis itu persoalan
kebiasaan? Kebiasaan yang lambat laun mempengaruhi pola pikir seseorang seiring
banyaknya buku yang dibaca. Langkah awal menulis itu sederhana. Bisa jadi
bermula ketika tanpa sadar membuat catatan (atau coretan?) di buku kita.
Pramoedya Ananta Toer
pun berpendapat “…Tapi selama ia tidak
menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah…” , apa yang
akan dianggap oleh masyarakat jika bukan hasil karya seseorang? William Shakespare
terkenang karena karya hebatnya ‘Romeo and Juliet’, ‘Macbeth’ dan sederet
kumpulan sonnet buatannya. Ernest Hemingway terkenang karena masterpiecenya
‘The Old Man and The Sea’, ia bahkan menulis novella ini berdasarkan
pengalamannya berpetualang di Cuba. John Steinbeck pun terkenang karena novella
tragisnya ‘Of Mice and Men’ (1937) yang meraih Penghargaan Nobel Kesusastraan, ia juga menulis berlatar belakang American Dreams yang popular hingga
kini. Jane Austen dengan novel klasiknya yang terkenal hingga kini ‘Pride and
Prejudice’, latar belakang novel ini bahkan mengangkat kehidupan Jane Austen
sendiri –tentu saja dengan ending yang berbeda. Mereka yang disebutkan diatas
hanya sebagian kecil dari para penulis yang karyanya tetap dikenal hingga kini
melalui tulisan.
Jika menulis merupakan salah satu cara eksistensi manusia selama cerita
hidupnya bergulir dan eksistensi itu dianggap sebagai faktor
yang mebuat seseorang sebagai manusia itu ‘ada’, dianggap keberadaannya. Lalu,
mengapa takut menulis sebagai wujud eksistensi tentang keberadaan kita?
.:: Nurussyifa ::.
# Bendahara Umum KAMMI Komisariat UNJ G-XIII
Langganan:
Posting Komentar
(Atom)
0 komentar:
Posting Komentar