Layak Anak ?
Siang itu,
setelah beberapa kali alpa dan diterkam kesibukan diluar sekolah, saya kembali
mengajar. Saya hanya guru pamong yang memang tak memiliki wewenang akademis.
Maka, saya hanya bertindak sebagai motivator, melengkapi fungsi yang ada pada
guru bina. Dengan demikian, saya tak begitu terikat jam bekerja dan mengajar.
Saya mengajar di sebuah sekolah terbuka di Kota Depok.
Keisengan saya
muncul, ketika melihat setumpuk besar LKS untuk kelas 3 SD, bahasa Indonesia, di atas lemari. Sekolah saya memang masih
menumpang di gedung SD. Saya mengajar kelas 2 SMP, namun di sekolah terbuka
ini, apa saja bisa terjadi. Saya memulai pengajaran dengan meminta siswa
mengerjakan soal di LKS kelas 3 SD tersebut. Selama 10 menit.
Kompetensinya
adalah seputar menulis dan berbicara. Di akhir pelajaran, siswa diminta
membacakan tugasnya dengan lafal dan intonasi yang tepat. Yang mengagetkan,
seorang siswa malah bertanya, bagaimana menulis paragraf. Baik, waktu habis
untuk menjelaskan paragraf. Sepuluh menit berlalu, dan siswa (yang diminta
menulis sebuah paragraf mengenai bencana di lingkungannya, Kota Depok)
sebagian
besar (bukan semua) telah selesai mengerjakannya.
Saya semakin
tertegun ketika siswa, yang diminta membacakannya dengan lafal dan intonasi
yang tepat, gagal; mereka bahkan tak bisa membedakan antara koma dan titik.
Waktu kembali terbuang untuk mengulang pelajaran kelas 3 SD. Saya merahasiakan,
soal kelas berapa yang mereka kerjakan.
Namun, ketika kembali beranjak pada
materi asli untuk 2 SMP, mengenai diskusi, saya mencoba bereksperimen kembali.
Saya meminta
mereka berdiskusi mengenai masalah yang terjadi tadi: ketidakbisaan mereka
menyelesaikan soal untuk anak kelas 3 SD. Sampai disini, lancar saja. namun,
ketika saya minta mereka mempresentasikan hasil diskusi mereka, saya mendapati
data sebagai berikut:
Pertama,
mereka tak bisa mengerjakan soal itu
setidaknya dengan 3 faktor, mereka tak pernah membaca buku karena memang tak
punya dan tak ada buku yang menurut mereka layak dibaca, tak adanya guru yang
menyenangkan bagi mereka, dan memang mereka yang lebih tertarik begadang di
depan komputer warnet.
Ketidakadaan
buku ini saya perjelas kembali. Mereka menerangkan dalam presentasinya, bahwa
mereka mau saja membaca buku, tetapi buku mahal. di kota saya tak ada
perpustakaan yang terjangkau bagi mereka. Unreachable
factor inilah yang menyebabkan (mungkin) predikat layak anak mendapat
gangguan yang pertama. Terus terang, mereka saya larang membaca buku pelajaran.
Isinya hanya kumpulan soal, dan mereka tak akan belajar cara membuat wacana dan
merangkai pola pikir dari soal-soal yang tak mengandung informasi pencerdasan.
Kedua, mengenai tak adanya guru yang menurut
mereka mampu memahamkan materi paragraf dan cara membaca yang indah, di tingkat
SD. Seratus persen dari mereka berasal dari sekolah dasar negeri dan madrasah
negeri. Artinya, kualitas pegawai negeri sudah pasti mendapatkan semacam
jaminan, meski waktu mereka SD belum ada kebijakan sertifikasi.dan jawaban
mengenai guru yang tak layak, saya dapati di semua kelompok diskusi, yang
artinya, ini terjadi di semua anak yang saya anggap representatif.
Faktor yang
terakhir ini, warnet, sebetulnya nyeleneh,
namun saya mendapati jawaban ini dari mayoritas siswa. Masalahnya, sebagian
besar siswa berasal dari lingkungan dengan
masalah utama kemiskinan, kekerasan dan kesalahan pola asuh, serta
orangtua tunggal. Ini diperparah dengan menjamurnya game online, sebagai
alternatif penghilang stress yang meski memakan biaya, namun bisa mengalihkan
sebentar dunia dari segala macam kekerasan tersebut.
Tulisan ini
secara langsung hendak menggugat kota saya sendiri, di antara klaim-klaimnya
sebagai kota layak anak dan kota pendidikan. Saya tak ingin membohongi diri
saya sendiri, bahwa sulit untuk mengajar di Kota Depok. Ketiadaan sarana,
kurangnya sumberdaya pengajar, dan banyaknya tekanan lingkungan, semakin
membuat saya berpikir kembali.
Klaim bahwa kota
saya adalah kota layak anak, goncang dengan fakta yang saya dapatkan dari jajak
pendapat terhadap siswa. Kebutuhan belajar yang utama, adalah kemudahan akses
dan ketersediaan buku (informasi!) yang memadai. Jumlah perpustakaan yang
terjangkau, lengkap, murah biaya kunjungnya, serta mendukung daya kritis anak,
bisa saya katakan tidak ada. Tanpa mengesampingkan perpustakaan Pemkot—dan murid-murid
saya tak ada yang mengetahuinya—kota saya belum menunjukkan itikad mempermudah
hal ini. satu-satunya alternatif yang populer, hanya mengunjungi toko buku di
Margonda sana, yang tidak semua siswa saya bisa membelinya. Atau, ke warnet.
Saya pernah
mengajukan permohonan penyediaan buku cerita dan ensiklopedia kepada
Perpustakaan Nasional, namun terhambat tak adanya ruangan perpustakaan sebagai
jaminan keberlanjutan buku-buku yang akan mereka distribusikan. Untuk
berlangganan koran, itu menghabiskan uang jajan murid saya.
Mengenai
sumberdaya pengajar, saya mendapat pernyataan demikian:
“Guru bahasa
Indonesia saya, waktu SD, galak. Kumisnya tebal, tinggi besar orangnya, terus
apa-apa disalahkan....”
Saya rasa, jika
lebih panjang lagi dikutip, hanya akan makin menambah prihatin nada tulisan.
Banyak guru bahasa yang belum sadar, bahwa mengajar bahasa sesungguhnya berbeda
dengan mengajar serangkaian cara bicara. Sebagian besar guru di lingkungan saya
keliru, menyamakan bahasa dengan tata cara. Ini sebabnya, bahasa yang baik dan
benar, serta sesuai konteksnya, sangat sulit diajarkan. Bahasa bukan soal
mendengarkan, tetapi soal bicara, menulis, lalu melakukan. Sesederhana itulah bahasa. Jangan pernah
ajarkan anak-anak mengenai struktur kalimat, itu hanya akan membuat mereka
trauma.
Jangan pernah
mengajarkan anak-anak puisi, jika yang dimaksud puisi adalah serangkaian
bait-bait dan kata-kata ber-rima. Apakah kami dipaksa mengajar apa yang bahkan
para penyair belum sepakat? Bahkan puisi-puisi modern tidak lagi bicara
kata-kata, tetapi makna.
Pembaruan-pembaruan
pemikiran guru, dengan kata lain update, diperlukan para guru. Saya tak akan mau
mengajar hanya berbekal LKS, yang merupakan usaha dikte dari penerbit kepada
para guru. Ilmu bahasa sesungguhnya jauh lebih agung daripada itu. Ia bukan
serangkaian cara merangkai kata-kata, tetapi lebih jauh lagi: cara
mengaktualisasikan diri kepada orang lain, keluarga, dan masyarakat. Berapa
banyak saya menemukan, siswa yang tak berani bicara hanya gara-gara takut
salah, dan jika salah, gurunya di SD akan memukulnya, membentaknya, atau
hal-hal lain yang kita kenal sebagai “latihan” bukan “didikan”.
Untuk mengajar bahasa, saya harus tahu
bahasa macam apa yang sekarang digunakan masyarakat, dan bagaimana mengaitkannya
dengan serangkaian tata bahasa, yang tepat dan kontekstual. Untuk menulis, saya
belajar dari kesalahan mengajar saya sendiri: siswa saya minta menulis,
sementara saya belum mengajarkan caranya. Menulis, bukan memindahkan tuturan
menjadi ejaan, tetapi mengubahnya menjadi bacaan yang urut, baik, dan
informatif.
Menangani
kesenangan anak ke warnet, bisa kita tinjau dari latar belakang mereka.
Kekerasan dan kejemuan akibat kemiskinan,
membuat manusia mencari alternatif untuk memenuhi kebutuhan rekreasi.
Belajar ke sekolah, nampaknya tidak dipandang sebagai rekreasi dan refres,
sehingga, mereka memilih sebuah dunia tanpa tekanan, kekerasan dari orang yang
lebih dewasa, serta keuangan: game online.
Sekolah seharusnya menampakkan wajah
ramahnya sebagai orang tua kedua, yang mampu memberikan segala solusi
permasalahan yang mereka alami. Sekolah, nampaknya hanya memberikan masalah
baru kepada si anak yang akhirnya memutuskan lari dari sekolah, dan pergi
kewarnet selama berhari-hari. Sering saya temukan, di hari pembagian nilai,
orang tua yang menangis lalu memarahi anaknya tannpa henti. Besoknya, ke warnet
lagi. Demikian seterusnya tanpa henti.
Apabila kita
jeli, nampaknya masalah berakar dar satu arah: mata rantai kemiskinan yang
mengakibatkan tekanan, yang menghasilkan stress bagi anak-anak. Efeknya, dunia
pendidikan mengalami kegamangan, mengajari anak-anak nilai ideal, namun tak
memberikan solusi bagi kemiskinan dan kekerasan yang mereka hadapi.
Layak anak, saya
harap lebih dari slogan yang saya temui di setiap perempatan di kota saya.
Layak anak bukanlah konsep dan julukan, tetapi sebuah arah kerja dan kenyataan,
dimana saya bisa melihat siswa-siswa saya yang jenaka belajar, membaca buku
yang layak, lalu lantang berseru: saya pernah bahagia menjadi anak-anak Depok!
Oleh : Amar Ar-Risalah
Ketua Departemen Sosial Masyarakat KAMMI Komisariat UNJ
Langganan:
Posting Komentar
(Atom)
0 komentar:
Posting Komentar