"Kami Rindu Bapak. . . "





Menurut Newmann, salah satu pakar psikologi, seorang anak cenderung mengidolakan ayahnya karena sifat kegagahan, jantan, dan kemampuannya memberikan perlindungan, meski tidak disadari. Ia dapat meminta uang jajan setiap hari, ia dapat makan, minum, dan memakai pakaian dengan bebas di rumahnya.
Berbanding dengan kondisi rakyat kita, ada analisis bahwa kita adalah bangsa yang menganut  pola “Bapakisme”. Maksudnya, pengidolaan dan kepatuhan kepada sosok pemimpin yang dipandang seperti ayah sendiri. Manut apa ujare bapak.
Kemampuan negara sebagai “Bapak” disini, tercitra dalam kemampuannya menyediakan segala kebutuhan “anak-anaknya”. Implementasinya, kebutuhan rakyat adalah bagaimana “Bapak Pemerintah”  menjamin ketersediaan barang-barang ekonomi primer dan juga menyediakan secara mudah kebutuhan pokok anak-anak, seperti makan, minum, sekolah, pakaian, dan uang.
“Bahwa manajemen sumber daya air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai komoditas ekonomis dan partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan hasil yang efisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan” ( World Bank, 1992)
Ketika Indonesia meratifikasi hal ini, air menjadi harta karun yang indah bagi semua orang. Ramai-ramai perusahaan mengapling ladang air tak ubahnya bagai ladang minyak. Berbotol-botol air dijual, dan kita harus mendapatkannya dengan harga yang mahal.
Air, adalah unsur utama dalam kehidupan. Air,dengannya pertempuran atau perdamaian bisa terjadi.
Air, adalah urusan kemaslahatan rakyat banyak, dan dengannya pertanian, pangan,sandang, dan properti dapat berjalan dengan lancar. Apabila air di negara yang kita warisi disikapi sebagai komoditas ekonomis, maka air akan seolah menjadi hak sebagian rakyat, dan harus memiliki uang untuk mendapatkannya.
Pangi Syarwi (2009), dalam salah satu esainya mengungkapan eksploitasi membabi-buta yang dilakukan oleh Danone Group, mencapai 40 juta liter perbulan. Jika dilakukan estimasi dengan harga jual 80 miliar perbulan, maka nilai eksploitasi mencapai 960 miliar pertahun.
Bagaimana dengan pajaknya? Hanya 1,2 miliar rupiah sebagai kontribusi APBD, dan beberapa juta sebagai pajak umum.
Seharusnya, beranjak dari UUD 1945, bahwa kekayaan alam yang dapat digunakan bagi kepentingan rakyat umum dikelola negara, air menjadi tanggung jawab rakyat bersama negara. Negara ini, yang bahkan belum dapat menyediakan air secara merata bagi seluruh rakyat Indonesia (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!) justru menjauhkan air dari kepentingan umum danmenjadikannya siksa bagi warga miskin!
Air, yang menjadi hak bagi segala rakyat yang ada di kolong langit Tuhan bernama Indonesia, dikapling-kapling dan diperlakukan tak ubahnya barang keperluan kantor biasa, yang harus senantiasa diperdagangkan.
Bagaimana kasus kekeringan di Gunungkidul, Yogyakarta, mencerminkan jahatnya ekonomisasi air, bagaimana kasus hampanya Nusa Tenggara Timur dengan sempurna mengabarkan pemerkosaan pemerintah kepada UUD 1945, telah cukup memantik amarah rakyat. Itu cukup untuk menghilangkan alasan-setidaknya bagi yang kekeringan-rakyat untuk mematuhi pemerintah. Bagaimana tidak? Bahkan asas tertinggi penyelenggaraan negara diperkosa pemerintah dengan serampangan!
Pada tahun 2009, PERTAMINA mulai merencanakan sahamnya untuk Go Public, teknik sederhana untuk mendapatkan modal sebesar-besarnya dengan tak terbatas. Go public, adalah kebijakan untuk melepas saham yang tadinya hanya milik negara atau perseorangan menjadi milik publik dan semua orang berhak menanam modal didalamnya.
Kembali kepada dasar bahwa segala SDA yang menjadi kepentingan umum di kelola negara, dan bahwa PERTAMINA adalah BUMN yang teramat vital (Minyak! ) patutlah kita pertanyakan, dimana kemampuan negara menjamin kepentingan umumm pada  PERTAMINA?
Pada awalnya, Perusahaan Gas Negara, yang belum bergabung menjadi PERTAMINA, ketika masih disokong penuh oleh APBN, mampu menjadikan kita eksportir gas terbesar di Asia dan dunia. Kita tentu masih ingat, bagaimana nikmatnya gas murah dan minyak yang melimpah.
Kini, dengan kebijakan Go Public, dimana siapapun pada akhirnya berhak mengeksploitasi minyak negeri ini dan mengendalikan PERTAMINA seenak dengkul, kita kehilangan sosok kebapakan dari negeri ini yang mampu menjamin kehidupan anak-anaknya.
Pada sebuah warung kopi, penjual serta merta akan berbisik, “Kita rindu orde baru dan Pak Harto....” Pembeli hanya akan mengangguk entah setuju entah prihatin, namun hati kecil mereka berdua sama: kita rindu sisi kebapakan negara, bukan orde barunya. Terlepas dari gagal-tidaknya orde itu menyediakan kebutuhan rakyat.
Kita merindukan ketika PERTAMINA disokong penuh negara dalam hal permodalan. Sejahat apapun negara, tetap akan mengarahkan perusahaan itu kepada kepentingan umum. Tetapi, dengan saham yang bahkan dapat dimiliki penjahat perang, PERTAMINA, diyakini akan menjadi alat bisnis dan menarik keuntungan sebesar-besarnya dari rakyat dan menghilangkan sisi kemaslahatan umum dari gas dan minyak bumi.
Minyak tanah, yang sebelum reformasi masih seharga Rp. 800 per liter, segera naik 10 kali lipat dengan alasan anggaran negara jebol untuk subsidi. Juga demikian dengan premium, pertamax, dan pertamax plus. Ketiga produk yang vital bagi distribusi hasil perekonomian rakyat dan negara ini, pada 1 April kemarin dijadwalkan naik.
Rp. 6000 per liter, yang menurut sebagian kalangan harus naik, betul-betul akan menjauhkan rakyat dari kecintaan dan nasionalisme. Masalahnya adalah, dimana tanggung jawab negara? Dimana negara ketika harga harus naik, dan dimana negara ketika ada yang tak punya uang untuk mencapai kebutuhan dasarnya?
Dimana negara ketika rakyat butuh minyak yang murah, yang merupakan produk dalam negeri? Menyitir ungkapan Pangi Syarwi, mungkin kita akan dengan dingin dan tenang memberi judul “Kejahatan Negara Terhadap Rakyat” (Syarwi, 2009)
Kedua kasus ekonomi vital diatas, dapat saja menurunkan rasa cinta dan nasionalisme dari rakyat kepada negara. Lebih khusus, ketika seorang anak tidak lagi mendapatkan sesuatu yang mencirikan seseroang sebagai bapak, maka ia akan kehilangan kepercayan. Ia akan mengalami penyangkalan. Ketika ia tidak tercukupi, maka ia akan mulai meragukan integritas ayahnya, dan pada tingkat lanjut, benci pada “Bapak”.
Media massa yang begitu luas terjangkau, dapat memberi gambaran, baik bias maupun jernih, terhadap segala tindak tanduk sang Bapak Indonesia. Anak-anaknya akan senantiasa tahu usaha-usaha pemenuhan kebutuhan rakyat, yang baik maupun yang jahat.
Pemerintah harus jeli, jangan sampai demonstrasi 1998 dan 1 April 2012 kemarin terulang. Itu semua hanya ekspresi kerinduan anak-anak negara kepada bapaknya, bapak yang mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.
Jeli, bahwa segala keputusan haruslah dapat mengakomodir kepentingan umum, dan bukannya kepentingan kapitalis atau pemilik modal semata.
Jangan pernah pemerintah berharap, anak-anaknya akan patuh kepada regulasi dan menyimak dengan seksama segala kebijakan pemerintah, jika terus menerus anak dipecundangi oleh bapaknya. Kini, anak-anak sudah dewasa, sudah semakin cerdas, dan memiliki kemampuan melawan. Tetapi, semua anak yang dewasa, lalu merantau, atau kehilangan bapaknya, tetap akan termenung:
“Kami rindu bapak....”

Oleh : Amar Ar-Risalah

0 komentar:

Twitter

Search

Like Box